Penundaan Pemilu Disebut Cara Populer Rezim Otoritarian Perpanjang Jabatan
Politik | 27 Februari 2022, 20:02 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Usulan penundaan Pemilhan Umum (Pemilu) 2024 mengemuka kembali melalui pernyataan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar.
Menanggapi usulan tersebut Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyatakan, upaya tersebut merupakan tindak perpanjangan masa jabatan presiden menjadi 3 periode yang dikemas dalam narasi baru.
Dengan ditundanya pemilu, presiden bisa memperpanjang jabatannya tanpa perlu mengubah konstitusi dan ikut dalam kontestasi politik.
"Penundaan pemilu sama dengan perpanjangan masa jabatan. Perpanjangan masa jabatan adalah bungkus atau baju baru presiden 3 periode," tuturnya kepada Jurnalis Kompas TV Cindy Permadi, Minggu (27/2/2022).
"Tak ada alasan logis relevan secara konstitusi untuk menunda pemilu dengan alasan menjaga laju pertumbuhan ekonomi," lanjut Titi.
Baca Juga: Terkait Wacana Tunda Pemilu 2024, Yusril: Ada Konsekuensi Legitimasi yang Harus Dipertimbangkan
Ia melanjutkan, jika langkah penundaan pemilu merupakan jalan yang populer digunakan oleh rezim otoritarian.
"Dalam literatur akademik, penundaan pemilu cara populer yang digunakan rezim otoritarian tanpa pemilu. Jadi penundaan pemilu upaya melawan masa pembatasan jabatan dengan menghindari pemilu," jelasnya.
Titi menyatakan memang ada Undang-undang (UU) Pemilu yang diatur terkait penundaan pemilu, tetapi dengan syarat. Syaratnya seperti adanya kondisi luar biasa seperti bencana alam dan gangguan keamanan.
"(UU Pemilu) pun tak boleh menyimpangi konstitusi yang mana sudah jelas masa jabatan presiden 5 tahun dan dipilih kembali 1 kali masa jabatan. Tidak ada alasan moral akuntabel untuk ubah konsitusi untuk penundaan pemilu," tuturnya.
Penulis : Danang Suryo Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV