> >

Dua Tahun Covid: Sengkarut PCR, Gonta-ganti Kebijakan hingga Dugaan Bisnis Pejabat

Update corona | 2 Maret 2022, 09:00 WIB
Ilustrasi pemeriksaan Covid-19 dengan tes PCR. (Sumber: Kompastv/Ant)

JAKARTA, KOMPAS.TV – Selamat ulang tahun pandemi Covid-19 di Indonesia yang kedua. Sejak kasus Covid-19 ditemukan pertama kali di Indonesia pada 2 Maret 2020, kehidupan menjadi jauh berbeda.

Jaga jarak, memakai masker, dan menjauhi kerumunan menjadi salah satu kenormalan baru. Mau tak mau, masyarakat harus mengikutinya.

Ada juga satu istilah yang kerap mampir ke telinga masyarakat, yakni Polymerase Chain Reaction alias PCR. Sebuah metode pemeriksaan Covid-19 yang dilakukan dengan mendeteksi adanya DNA pada virus.

Baca Juga: Catat Aturan Terbaru Isolasi Mandiri, Pasien Hanya Wajib Tes PCR Satu Kali di Hari Kelima!

Metode ini diklaim sebagai tes yang paling spesifik mendeteksi adanya Covid-19 ketimbang metode lain yang ada, seperti rapid test antibodi dan rapid test antigen.

PCR mulai menjadi polemik saat dijadikan sebagai syarat perjalanan, khususnya pelaku perjalanan udara. Mereka harus menunjukkan hasil tes swab PCR negatif untuk bisa terbang.

Awalnya, pemberlakukan kebijakan soal PCR ini ditujukan untuk penerbangan Jawa Bali, kemudian juga diberlakukan untuk penerbangan luar Jawa Bali yang berstatus PPKM level 3 dan 4.

Kebijakan kembali berubah, termasuk terkait masa berlaku PCR, dari dua hari kemudian tiga hari.

Kini, PCR tidak menjadi syarat wajib penerbangan bagi yang sudah divaksin dua dosis. Penumpang dapat menunjukkan hasil negatif dari tes antigen yang berlaku satu hari.

Baca Juga: Cukup Sekali Negatif PCR, Status di Aplikasi PeduliLindungi Langsung Hijau

Gonta-ganti harga PCR

Pada awal pandemi Covid-19, harga tes PCR menyentuh harga Rp2,5 juta. Tak sedikit yang mengatakan bahwa angka tersebut terlalu mahal.

Harga PCR tersebut mendapatkan banyak kecaman dan kritikan dari berbagai pihak. Sebab, berdasarkan data di e-katalog Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), harga reagen, yang merupakan komponen terbesar dari harga tes PCR, berada di kisaran harga ratusan ribu.

Di sisi lain, masyarakat juga kesulitan untuk melakukan deteksi dini Covid-19 yang akurat.

Pada Agustus 2020, melalui SE Nomor HK.02.02/I/3713/2020, pemerintah akhirnya menetapkan batasan tarif tertinggi tes PCR seharga Rp900 ribu.

“Batasan tarif tertinggi untuk pemeriksaan RT-PCR termasuk pengambilan swab adalah Rp900.000,” demikian pernyataan dari SE tersebut. Harga itu disebut telah disesuaikan dengan harga reagen di pasaran, 

Pada Oktober 2021, harga PCR kembali diturunkan menjadi maksimal Rp275 ribu untuk wilayah Jawa dan Bali, serta maksimal Rp300 ribu untuk luar Jawa dan Bali.

Jubir Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tirmidzi mengatakan bahwa harga PCR turun karena harga reagen juga turun dan memiliki banyak pilihan harga.

"Harga PCR komponennya reagen, bahan habis pakai, dan biaya operasional. Ini karena pilihan reagen juga lebih banyak dan harga juga sudah lebih turun," kata Nadia kepada Kompas.com, 28 Oktober 2021 lalu.

Meski beberapa kali mengalami penurunan, harga tes PCR dinilai dapat ditekan menjadi lebih murah lagi. Hal ini dikatakan oleh Direktur Utama PT Bio Farma (Persero) Honesti Basyir.

“Kami berkeyakinan masih mempunyai ruang untuk bisa menurunkan harga (tes PCR) ini,” kata Honesti, 9 November 2021.

Senada dengan Honesti, anggota Komisi VI DPR RI Andre Rosiade juga mengatakan bahwa harga tes PCR seharusnya berada di bawah Rp200 ribu.

“Saya ingin tegaskan, bahwa harga PCR di Indonesia seharusnya bisa di bawah Rp200 ribu. Bahkan, di saat harga mahal pada bulan Maret dan April 2021, seharusnya harga PCR di bawah R200 ribu,” kata Andre, mengutip Tribunnews.

Baca Juga: 66,8 Persen Warga Khawatir Tertular Omicron dan 52,5 Persen tidak Setuju Tes PCR Syarat Perjalanan

Mengapa PCR mahal?

Perubahan harga tersebut mengundang pertanyaan, mengapa harga tes PCR di Indonesia mahal?

Harga tes PCR di dunia memang berbeda-beda. Lembaga konsultan layanan penerbangan yang berbasis di Inggris, Skytrax, membuat perbandingan harga tes PCR di bandara di 70 negara.

Hasilnya, harga tes PCR termurah ditawarkan oleh Mumbai Airport, yakni 8 dolar AS atau sekitar Rp115.000. Sementara harga termahal, yang menempati peringkat pertama PCR termahal, ditawarkan oleh Kansai International Airport, Jepang, yakni 404 dollar AS atau sekitar Rp5,8 juta.

Skytrax menyebutkan bahwa harga tersebut dipengaruhi dengan lokasi bandara di negara maju dan faktor lain, seperti infrastruktur, staf, dan laboratorium yang mahal.

Indonesia masuk di nomor 47 untuk bandara di Denpasar (61 dolar AS) dan urutan 49 untuk bandara di Jakarta (54 dolar AS). Di Asia, Indonesia menduduki peringkat keenam dan ketujuh.

Ketua Umum Perhimpunan Dokter Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium Indonesia (PDS PatKLIn), Aryati, menjelaskan alasan harga tes PCR begitu mahal.

Menurut Aryati, ada beberapa faktor yang membuat harga tes PCR tinggi, yakni harga alat dan bahan baku tes PCR, termasuk reagen ekstraksi dan bahan sekali pakai.

Sementara itu, Wakil Direktur Pendidikan dan Diklit cum Jubir Satgas Covid-19 RS UNS, Tonang Dwi Ardyanto mengatakan alasan harga tes  PCR mahal adalah proses tes, alat yang mahal, dan risiko penularan yang tinggi.

"Faktor yang membuat tes PCR begitu mahal yakni ada dua tahapan pemeriksaan PCR yakni ekstraksi dan PCR itu sendiri, reagen-nya mahal, alat-alatnya mahal, harus di lab dengan standar minimal BSL-2, SDM-nya harus terlatih, dan risiko kerja yang tinggi," kata Tonang, 1 November 2020.

Baca Juga: Biaya Perjalanan dan PCR Ibadah Haji 2022 Diusulkan Jadi Rp45 Juta Per Orang

Dugaan Bisnis PCR

Syarat tes PCR untuk perjalanan dan harga yang gonta-ganti ini menyebabkan tudingan adanya bisnis PCR yang mendulang keuntungan, alih-alih untuk tujuan kemanusiaan.

Majalah Tempo edisi 1 November 2021 mengungkapkan adanya dugaan keterlibatan para pejabat publik dalam bisnis PCR.

Dalam Sapa Indonesia Malam Kompas TV, Redaktur Majalah Tempo Hussein Abri Dongoran mengatakan bahwa beberapa pejabat dan politikus berafiliasi atau memiliki sejumlah perusahaan penyedia tes PCR.

Nama Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri BUMN Erick Thohir pun disebut berada dalam pusaran bisnis PCR tersebut.

Melansir Indonesia Corruption Watch (ICW), Luhut dan Erick terafiliasi dengan PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI), perusahaan yang menjalankan layanan tes PCR.

Luhut diketahui memiliki saham sebanyak 242 lembar di PT GSI melalui dua perusahaannya, yakni PT Toba Sejahtera Tbk (TOBA) dan PT Toba Bumi Energi. Sementara Erick terafiliasi melalui Yayasan Adaro yang berada di bawah PT Adaro Energy Tbk.

ICW juga menduga keuntungan dari layanan tes PCR ini mencapai lebih dari Rp10,46 triliun.

Peneliti ICW, Wana Alamsyah mengatakan bahwa asumsi untung tersebut didapatkan dari perhitungan selisih harga tes PCR lama dengan yang baru, lalu dikalikan dengan jumlah spesimen yang diperiksa dari Oktober 2020 sampai 15 Agustus 2021.

Baca Juga: Cara 4 Pelaku Pemalsuan Tes PCR Beraksi, Bobol Peduli Lindungi

Baik Luhut maupun Erick, keduanya sama-sama membantah tudingan bisnis PCR tersebut. Mereka kompak bilang tidak mengambil keuntungan sama sekali.

Jubir Menko Marves Jodi Mahardi mengatakan bahwa GSI tidak pernah bekerja sama dengan BUMN dan pemerintah. Pembentukan GSI juga tidak bertujuan untuk mendulang untung dan berbisnis.

“(Dugaan) itu sama sekali tidak benar. GSI ini tidak pernah kerjasama dengan BUMN ataupun mendapatkan dana dari pemerintah,” kata Jodi, 1 November 2020 lalu.

Senada, staf khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga juga membantah tudingan tersebut. Dia menjelaskan bahwa Yayasan Adaro yang terafiliasi dengan GSI tidak memiliki peran yang besar karena sahamnya yang kecil.

Selain itu, Erick Thohir juga tidak lagi aktif dalam urusan bisnis di Yayasan Adaro tersebut.

Masalah tak selesai dengan bantahan dua pejabat tersebut. Pada 16 November 2021, Ketua Majelis Jaringan ProDemokrasi (ProDem) Iwan Sumule melaporkan keduanya ke Polda Metro Jaya atas dugaan keterlibatan bisnis PCR.

Luhut dan Erick Thohir diduga melakukan tidak kolusi dan nepotisme melalui keterlibatan bisnis PCR tersebut.

Penulis : Fiqih Rahmawati Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Kompas TV/Kompas.com/Tribunnews


TERBARU