Biaya Restitusi untuk Korban dalam RUU TPKS Wajib Ditanggung Pelaku Kekerasan Seksual
Hukum | 23 Februari 2022, 09:34 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Biaya restitusi atau ganti kerugian kepada korban dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) diwajibkan untuk ditanggung pelaku kekerasan seksual.
Pernyataan itu disampaikan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej, Selasa (22/2/2022).
Menurut Eddy Hiariej, sapaan Wamenkumham, restitusi menjadi deretan kewajiban sanksi bagi pelaku selain pidana penjara dan pidana denda.
"Restitusi menjadi kewajiban, restitusi itu wajib, jadi bahasa di dalam RUU kita itu selain pidana penjara atau pidana denda, hakim wajib menetapkan besarnya restitusi kepada korban," kata Eddy Hiariej, seperti dilansir Kompas.com, Selasa (22/2/2022).
Eddy menjelaskan, adapun besaran restitusi yang akan diberikan kepada korban diputus oleh majelis hakim dan wajib dipenuhi oleh pelaku kekerasan seksual.
Jika pelaku tidak memiliki uang yang cukup membayar restitusi yang telah ditentukan, kata Eddy, maka harta bendanya akan disita dan dilelang untuk membayar resitusi tersebut.
"Katakanlah pelaku itu ekonomi menengah ke bawah lah, jadi dia tidak punya uang untuk restitusi, lalu apa yang dilakukan? Hartanya disita, di dalam RUU ini, begitu seseorang ditetapkan sebagai tersangka polisi dapat melakukan sita jaminan untuk restitusi," jelas Eddy.
Baca Juga: Wamenkumham: Ketentuan Dalam RUU TPKS, Penyidik Tidak Boleh Tolak Perkara dan Wajib Memproses
"Jadi barang-barangnya disita dulu, barang-barangnya disita, jangan sampai dia alihkan, jadi RUU ini betul-betul memberi perlindungan terhadap korban yang extraordinary, yang sangat luar biasa," jalas dia.
Lebih jauh Eddy juga menjelaskan soal harta yang tidak cukup untuk membayar restitusi yang telah ditentukan.
Menurutnya, kekurangan restitusi itu akan tetap dibayarkan oleh pelaku melalui pidana penjara subsider.
"Kalau misalnya sita jaminannya tidak cukup untuk biaya restitusi, maka itu diperhitungkan untuk hukuman subsider. Misalnya begini, restitusi itu untuk pemulihan korban ditentukan Rp 50 juta, hartanya setelah disita, dilelang cuma dapat Rp 30 juta kan berarti kurang Rp 20 juta nah Rp 20 juta ini diganti dengan pidana penjara," terang Eddy.
Wamenkumham pun memastikan bahwa RUU TPKS tidak akan tumpang tindih dengan undang-undang lain.
Eddy mengatakan, pemerintah telah menyandingkan aturan yang ada di RUU TPKS dengan berbagai aturan yang telah ada sebelumnya.
Sebelumnya, Eddy juga mengatakan dalam penyelesaian kasus tindak pidana kekerasan seksual tidak boleh menggunakan pendekatan restorative justice atau keadilan restorasi.
Hal itu sebagaimana jelas tertuang dan diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
"Ini sama sekali tidak boleh menggunakan restorative justice," kata Wamenkumham seperti dilansir Antara, Selasa (22/2/2022).
Adapun alasannya, kata dia, kerap kali kasus kekerasan seksual yang terjadi pelakunya menggunakan uang sebagai solusi damai dengan pihak korban.
Oleh karena itu, dalam RUU TPKS disebutkan bahwa selain pidana penjara atau pidana denda, hakim wajib menetapkan besarnya jumlah restitusi kepada korban.
Baca Juga: Kejati Jabar Banding Soal Restitusi Rp331 Juta Kasus Herry Wirawan yang Dibebankan ke Negara
Penulis : Nurul Fitriana Editor : Purwanto
Sumber : Kompas.com/Antara