> >

Politikus PKS Kritik Menag Soal Aturan Toa Masjid: Serahkan kepada Masyarakat untuk Musyawarah

Politik | 22 Februari 2022, 16:49 WIB
Legislator PKS Bukhori Yusuf berkomentar soal pemerintah yang diminta intervensi soal pengeras suara masjid (Sumber: Situs resmi dpr.go.id/Azka/Man)

JAKARTA, KOMPAS TV - Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf mengkritik kebijakan anyar Kementerian Agama ihwal panduan pemakaian pengeras suara (speaker) di masjid/musala yang diatur dalam Surat Edaran No.5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. 

Politikus PKS itu menilai, secara substansi pedoman tersebut mengabaikan dinamika kondisi sosiologis dan kultural masyarakat setempat mengingat jangkauan dari edaran tersebut tidak hanya dialamatkan kepada masjid atau musala yang berada di wilayah perkotaan tetapi juga di wilayah pedesaan.

Baca Juga: Warga Geruduk Perumahan Gegara Suara Toa Masjidnya Diprotes, Ini Penjelasan Polisi

“Penggunaan pengeras suara di masjid adalah tradisi umat Islam di Indonesia. Bagi masyarakat tradisional yang komunal, mereka relatif memiliki penerimaan yang lebih positif terhadap tradisi melantunkan azan, zikir, atau pengajian dengan suara keras melalui speaker masjid." 

"Selain alasan bahwa di dalam budaya komunal setiap laku individu terkonstruksi secara alamiah untuk mengutamakan kepentingan umum, tradisi tersebut juga tidak menemukan masalah ketika diterapkan di lingkungan yang homogen seperti pedesaan,” lanjut Bukhori di Jakarta, Selasa (21/2/2022). 

Ia mengatakan, dalam konstruksi kebudayaan masyarakat di pedesaan, bunyi keras tersebut telah menjelma sebagai budaya dasar, sehingga apabila frekuensi ataupun kapasitas dari bunyi tersebut berkurang, melemah, bahkan menghilang, maka dapat berpengaruh terhadap suasana kebatinan penduduk 

“Seperti ada bagian yang hilang dalam keseharian hidup mereka,” ujarnya. 

Baca Juga: Dukung SE Menag, DMI: Di Jakarta Ada 4.000 Masjid dan Musala, Mayoritas Punya 4 Pengeras Suara Luar

Meski begitu, ia menyebut fenomena yang dianggap lazim di pedesaan tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima oleh penduduk di lingkungan perkotaan yang hidup dalam suasana heterogen, individualistik, serta bising, sehingga ketenangan menjadi hal yang didambakan di tengah hiruk pikuk kehidupan metropolitan. 

“Dalam kondisi itu, pengaturan pengeras suara pada tingkat yang proporsional menjadi hal yang perlu dilakukan. Selain demi menjaga harmoni sosial di lingkungan yang heterogen, juga penting untuk menjaga simpati masyarakat atas kegiatan keagamaan yang dilakukan," ujarnya. 

Meski demikian, dalam mewujudkan hal itu sesungguhnya tidak perlu sampai dilakukan secara eksesif, misalnya melalui intervensi negara yang mencampuri hingga urusan teknis soal peribadatan.

"Cukup berangkat dari rasa kesadaran dan keterbukaan pikiran masyarakat, khususnya bagi pihak takmir masjid atau pengurus DKM,” katanya.

Terkait dengan pentingnya mendukung inisiasi masyarakat dalam mewujudkan harmoni sosial, Bukhori lantas mengambil contoh inisiatif baik yang dilakukan oleh umat Islam di Bali yang tidak menggunakan pengeras suara ketika umat Hindu memperingati hari raya Nyepi dalam rangka penghormatan dan toleransi. 

Begitupun sebaliknya dengan umat Hindu yang memaklumi penggunaan pengeras suara yang bersahutan oleh sejumlah masjid di Bali ketika menyambut peringatan hari raya Idul Fitri atau Idul Adha meskipun jumlah penganut muslim minoritas di sana.

Menurut dia, pengaturan pengeras suara tidak boleh disertai unsur pemaksaan, tetapi membutuhkan pendekatan dari hati ke hati. Karena, bagi pihak yang merasa terusik dapat menyampaikan rasa keberatannya secara santun kepada pihak takmir. 

Baca Juga: MUI Dukung Menag Yaqut, SE Aturan Pengeras Suara Masjid Sesuai dengan Ijtima Ulama
"Demikian halnya dengan pihak takmir yang diharapkan untuk pengertian, bijaksana, dan berjiwa besar dalam merespons dinamika masyarakat yang terdampak oleh pengeras suara masjid/musala dengan merumuskan jalan keluar yang humanis dan tidak mengurangi esensi syiar agama sedikit pun."

“Kuncinya adalah menyerahkan urusan ini kepada masyarakat untuk mengaturnya melalui tradisi atau musyawarah mengingat setiap kampung/daerah berbeda kondisi sosio-kulturalnya antara satu dengan yang lainnya,” kata dia.

Sebelumnya, Surat Edaran (SE) dari Menteri Agama (Menag) Yaqut C. Qoumas bernomor SE Menag No. 05/2022 tentang pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala juga mengatur terkait ibadah salat tarawih dan tadarus Alquran selama Ramadan.

Baca Juga: SE Menag: Tarawih dan Tadarus Alquran Dilarang Pakai Pengeras Suara Luar Masjid

Dalam aturan tersebut tertuliskan, ibadah salat tarawih ataupun Tadarus Alquran yang dilakukan pada bulan Ramadan diatur untuk tidak menggunakan pengeras suara luar masjid, melainkan menggunakan suara dalam.

“Penggunaan pengeras suara di bulan Ramadan baik dalam pelaksanaan Salat Tarawih, ceramah/kajian Ramadan, dan tadarrus Al-Qur’an menggunakan Pengeras Suara Dalam,” tulis aturan itu sebagaimana dilihat KOMPAS TV, Selasa (22/02/2022). 

Penulis : Fadel Prayoga Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU