Putri Gus Dur Bilang Ada Perang Narasi Islam di Media Sosial, Begini Penjelasannya
Agama | 27 Januari 2022, 12:35 WIB“Terdapat 2 paradigma praktik keberagamaan. Pertama, praktek beragama yang substantif-inklusif. Kedua, Praktek beragama yang eksklusif-legal formalistic yang cenderung lebih keras memahami teks agama,” ujarnya.
Alissa Wahid lantas memaparkan, hal ini harus dipahami sebab bisa jadi masa depan dunia Islam terkait dengan narasi-narasi yang berkembang ini.
Baca Juga: Alissa Wahid Respons Pendukung Perusak Sesajen: Lupa, Hormati Hak Orang Lain Juga Perintah Agama
Alissa lantas mengutip teori Psikolog Sosial Jonathan Haidt terkait moral foundation untuk memahami fenomena perang narasi Islam di digital ini.
Ia mencontohkan narasi tersebut, misalnya, soal 1 dari 6 fondasi moral Jonathan Haidt, yakni terkait Caring dan Harming yang berbeda ketika berubah jadi narasi di media sosial.
“Contohnya adalah teori Caring vs Harming. Narasinya ‘Kita harus membela orang Muslim di Palestina vs anak-anak tidak boleh bergaul dengan yang berbeda agama’ kira-kira seperti itu,” ujar dia.
Baca Juga: Alissa Wahid & Badriyah Fayumi Masuk dalam Jajaran Pengurus PBNU, Apa Kata Mereka? | Rosi
Alissa Wahid lantas memaparkan, di media sosial harus mendukung gerakan konten Islam yang moderat.
“Kalau ditanya, Apa yang harus dilakukan? Membangun narasi efektif. Kita harus memastikan konten, strategi Islam Rahmatan lil alamin dan memperbanyaknya di media sosial,” tambanhnya.
Ia pun mencontohkan soal konten yang efektif untuk Islam Rahmatan lil alamin itu adalah kisah dari keberanian Banser Riyanto yang wafat saat menjaga geraja dari bom.
“Contoh konten narasi viral yang bisa jadi representasi Islam ramah adalah kisah mengharukan Banser Ryanto yang memeluk bom, diterima pelbagai pihak,” tuturnya.
Penulis : Dedik Priyanto Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Kompas TV