Latar Belakang Gugatan Warga Padang kepada Presiden Jokowi soal Utang Negara Rp 60 Miliar
Berita utama | 27 Januari 2022, 08:27 WIBPADANG, KOMPAS.TV - Presiden Joko Widodo (Jokowi) digugat oleh Hardjanto Tutik, warga Padang, Sumatera Barat, terkait utang negara yang kini taksiran nilainya mencapai Rp 60 miliar.
Hardjanto, melalui kuasa hukumnya Amiziduhu Mendrof, mengungkapkan bahwa pemerintah Republik Indonesia melakukan peminjaman dana tersebut pada 1950 silam.
Namun, gugatan Hardjanto terkait utang itu enggan dipenuhi oleh pihak tergugat, yakni Presiden Jokowi, Menteri Keuangan, dan DPR RI.
Lantas, kenapa pemerintah tak bersedia membayar utang tersebut? Melansir Kompas.com, berikut penjabaran lengkap mengenai latar belakang pinjaman itu.
Baca Juga: Sri Mulyani Tampik Kabar Utang Pemerintah Puluhan Ribu Triliun Rupiah
Awal mula Hardjanto memberikan utang kepada pemerintah
Pada 1950, Hardjanto yang saat itu merupakan seorang pengusaha, memberikan pinjaman Rp 80.300 kepada pemerintah Indonesia.
Pinjaman tersebut berdasarkan Undang-Undang (UU) Darurat RI Nomor 13 tahun 1950 tentang Pinjaman Darurat, yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno di Jakarta per 18 Maret 1950.
Pasal 1 dalam UU itu menyebutkan, Menteri Keuangan memiliki kuasa selama tahun 1950 untuk mengambil tindakan seperti mengadakan pinjaman dan mengeluarkan peraturan tentang peredaran uang.
Adapun, ketentuan mengenai jumlah pinjamannya tertuang dalam Pasal 4 dan 8 UU Darurat tadi, dengan bunga sebesar tiga persen dalam satu tahun.
Lebih lanjut, pembayaran utang tersebut mesti dilakukan oleh pemerintah dengan menggunakan kupon tahunan, setiap 1 September.
Setelah itu, pemberi utang dapat mencairkan kupon tersebut di semua kantor De Javasche Bank di Indonesia dan beberapa lokasi lainnya.
Baca Juga: Jokowi akan Perjuangkan Isu Kesetaraan bagi Penyandang Disabilitas pada Presidensi G20
Perhitungan utang jadi Rp 60 miliar
Mendrof mengatakan, kliennya memang benar memberikan utang itu dengan bukti penerimaan uang pinjaman yang ditandatangani oleh Sjafruddin Prawiranegara, selaku Menteri Keuangan pada 1950.
Dengan bunga tiga persen, sesuai UU Darurat tadi, maka total uang yang mesti dikembalikan oleh pemerintah kepada Hardjanto adalah sebanyak Rp 80.300 plus Rp 2.409.
Jika dikonversikan ke emas murni, bunga pinjaman pokok tersebut sama dengan emas seberat 0,603 kg per satu tahun.
Kemudian, terhitung dari 1 April 1950 sampai sekarang sudah mencapai 71 tahun, maka bunga utang senilai emas 0,633 kg itu menjadi 42,813 kg emas murni.
"Jika (bunga pinjaman itu) diuangkan, sekarang mencapai Rp 60 miliar," kata Mendrofa, dikutip dari Kompas.com, Kamis (27/1/2022).
Baca Juga: Janji Pemerintah Bangun Ibu Kota Baru: Hindari Utang Jangka Panjang
Namun, pemerintah Indonesia saat ini menolak untuk membayar utang kliennya.
Pihak tergugat yakni Menteri Keuangan yang diwakili 12 pengacara memberikan jawaban tak bersedia membayar utang.
Itu karena surat obligasi yang dimiliki Hardjanto dianggap telah kedaluwarsa karena lewat dari lima tahun sejak tanggal ditetapkannya keputusan pelunasan yakni 28 November 1978 jika tidak diuangkan.
Adapaun aturan tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 6 Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 466a/1978.
"Berdasarkan hal tersebut di atas oleh karena surat obligasi yang diklaim oleh penggugat sebagai mana mestinya tidak dimintakan/ditagihkan pelunasannya paling lambat lima tahun sejak KMK tersebut, maka surat obligasi tersebut jadi kedaluwarsa, sehingga proposal permohonan penggugat tidak dapat kami penuhi," kata Didik Hariyanto dan kawan-kawan melalui keterangan tertulisnya yang dikutip dari Kompas.com pada Kamis (27/1/2022).
Mendrofa pun mengungkapkan rasa kekecewaannya.
Setidaknya, menurut Mendrofa, kliennya mendapat penghargaan karena pernah membantu negara dengan memberikan pinjaman.
"Harusnya, klien saya mendapat penghargaan karena berjasa membantu negara, sekarang uangnya belum dikembalikan," tutur Mendrofa.
Penulis : Aryo Sumbogo Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Kompas.com