Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Rendah, ICW: Pemerintah Cuma Sibuk Urus Ekonomi dan Investasi
Berita utama | 26 Januari 2022, 15:06 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Indonesia Corruption Watch (ICW) berpendapat, rendahnya kenaikan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia dikarenakan pemerintah hanya sibuk dengan agenda di bidang ekonomi untuk kepentingan investasi.
Demikian Peneliti ICW Kurnia Ramadhana merespons rendahnya kenaikan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia dalam keterangan tertulisnya, Rabu (26/1/2022).
“Pemerintah hanya disibukkan dengan agenda pencarian ladang ekonomi untuk kepentingan investasi,” ucap Kurnia.
Kurnia berpendapat, pernyataan tersebut bukan tanpa dasar. Sebagai rujukan, ICW pun menyinggung perihal kebijakan pemindahan ibukota dan klaim kemudahan sektor ekonomi melalui Omnibus Law.
Menurutnya, proses kilat saat pembahasan aturan dengan menabrak aturan formal menjadi argumentasi utama untuk membantah logika yang dibangun oleh pemerintah.
Baca Juga: ICW soal IPK Indonesia Tambah 1 Poin: Ini Pertanda Pemberantasan Korupsi Era Jokowi Jalan di Tempat
“Sayangnya, pemerintah terlewat bahwa persoalan utama yang masih mendera sektor ekonomi menyangkut kepastian hukum, khususnya berkaitan dengan aspek pemberantasan korupsi,” ujar Kurnia.
Kemudian, kata Kurnia, IPK Indonesia hanya naik 1 poin karena agenda reformasi hukum tidak pernah diprioritaskan. Penting untuk ditekankan, secara administrasi, seluruh pimpinan aparat penegak hukum berada di bawah kekuasaan eksekutif.
“Dengan logika seperti ini, semestinya Presiden bisa mendesak Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK untuk meningkatkan kinerja pemberantasan korupsinya,” katanya.
“Namun, berdasarkan temuan ICW dalam Tren Penindakan semester pertama tahun 2021, jumlah penyidikan perkara korupsi yang dilakukan tiga penegak hukum itu mengalami penurunan,” tambah Kurnia.
Selain itu, Kurnia menilai, IPK Indonesia hanya naik 1 poin karena permasalahan grand corruption yang tak kunjung tuntas. Tidak ada komitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus grand corruption atau korupsi berskala besar.
Baca Juga: Anggota Legislatif Paling Malas Lapor Harta Kekayaan ke KPK
“Kasus-kasus besar seperti reklamasi Jakarta, KTP elektronik, surat keterangan lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI), dan sederet kasus lainnya berhenti hanya pada sedikit tersangka atau terpidana,” ucap Kurnia.
“Padahal kasus tersebut berpotensi melibatkan aktor-aktor besar,” tambahnya.
Bahkan, kata Kurnia, kondisi yang dibentuk hari-hari ini membuka ruang praktik grand corruption untuk semakin marak terjadi.
Pelemahan KPK lewat revisi UU membuat aktor-aktor yang membajak proyek negara sulit disentuh secara hukum.
“Ini diperparah dengan kehadiran UU Minerba serta UU Cipta Kerja yang menjamin pebisnis untuk mendapat keuntungan dengan mengeruk sumber daya alam,” ujarnya.
“Hal penting yang perlu digarisbawahi adalah grand corruption pada akhirnya hanya menguntungkan sedikit orang dengan cara merugikan orang banyak,” tambahnya.
Baca Juga: Arteria Dahlan: OTT KPK yang Dilakukan Era Firli Bahuri Berbeda
Tak hanya itu, ICW menambahkan, faktor lain yang turut membuat IPK Indonesia hanya naik 1 poin adalah menyempitnya ruang partisipasi warga dalam agenda pemberantasan korupsi.
Lantaran adanya ancaman yang masih banyak diterima oleh warga negara ketika menjalankan fungsi kontrol terhadap kinerja para penyelenggara negara.
“Bentuknya pun semakin beragam, mulai dari pelaporan menggunakan delik pencemaran nama baik, peretasan, hingga kekerasan fisik,” ungkap Kurnia.
“Padahal, peran serta warga negara dibutuhkan dan dijamin keberadaannya oleh peraturan perundang-undangan untuk berkontribusi terhadap penegakan hukum,” tambahnya.
Penulis : Ninuk Cucu Suwanti Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Kompas TV