Kasus Penipuan Cek Kosong Mantan Gubernur Bengkulu dan Eks Anggota DPR Sudah Masuk ke Kejaksaan
Hukum | 24 Desember 2021, 07:00 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Mantan Gubernur Bengkulu Agusrin M Najamudin dan mantan anggota DPR Raden Saleh Abdul Malik terseret masalah hukum di Polda Metro Jaya.
Keduanya dilaporkan terkait dugaan penipuan dan penggelapan mengenai kerja sama bisnis dengan PT Tirto Alam Cindo (TAC) pada 2019 silam.
Lantaran tidak ada kejelasan mengenai perjanjian kerja sama bisnis, PT TAC melaporkan keduanya ke Polda Metro Jaya.
Laporan itu teregister dengan nomor LP:1812/III/Yan 2.5/2020/SPKTPMJ tertanggal 17 Maret 2020.
Baca Juga: Buronan Penipuan Investasi Modal Alkes Akhirnya Ditangkap, Ternyata Ngumpet di Vila Gunung Salak
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Endra Zulpan menjelaskan penyelidikan kasus dugaan penipuan dan penggelapan ini sudah berjalan.
Penyidik kemudian meningkatkan kasus menjadi penyidikan dengan menetapkan Agusrin M Najamudin serta Raden Saleh Abdul Malik sebagai tersangka.
Menurut Zulpan, penetapan keduanya sebagai tersangka telah dilakukan pada September 2021. Saat ini, berkas perkara kasus dugaan penipuan dengan modus cek kosong tersebut juga telah diserahkan ke kejaksaan.
"Sudah tersangka, berkasnya juga sudah diserahkan ke Kejaksaan," ujar Zulpan saat dikonfirmasi, Kamis, (23/12/2021). Dikutip dari Tribunnews.com.
Baca Juga: Polisi Tindaklanjuti Laporan Pengeroyokan Guru SD di Bengkulu: Terlapor dan Pelapor Bakal Dipanggil
Kedua tersangka itu dijerat dengan Pasal 378 dan 372 KUHP dengan ancaman di atas 5 tahun penjara.
Kronologi Perkara
Kasus penipuan yang dilakukan Agusrin M Najamudin bermula saat kedua tersangka terlibat dan menjalin kerja sama bisnis kayu dengan PT TAC pada 2019 silam.
Pengacara PT TAC, Andreas menjelaskan, saat itu terlapor Agusrin M Najamudin hendak menawarkan kerja sama bisnis dengan pihak pelapor pada 2019.
Baca Juga: Heboh Penipuan Investasi Alat Kesehatan Kerugian Disebut Capai Rp1,3 Triliun, Bareskrim Turun Tangan
Menurut Andreas, Agusrin mengaku memiliki hak pengelolaan hutan (HPH) di Bengkulu. Kemudian rencananya terlapor mau membeli beberapa aset berupa pabrik dan alat berat dari PT TAC.
Dalam rencana kerja sama itu, Agusrin sepakat membayar sejumlah uang kepada pihak pelapor hingga mencapai Rp33 miliar. Pembayaran uang itu dijalankan melalui bentuk saham.
"Sebenarnya Rp32,5 miliar dan Rp525 juta itu berupa saham. Artinya, dia membentuk sebuah PT CKI. Dengan komposisi dari pihak TAC 52,5 persen dan PT API sebesar 47,5 persen. Transaksi itu terjadi," ujar Andreas.
Setelah itu, terlapor Agusrin memasukkan nama Raden Saleh menjadi direktur utama dengan tujuan dia membeli Rp32 miliar aset-aset tersebut.
Baca Juga: 1 Tersangka Penipuan Suntik Modal Alkes Rp1,2 Triliun Masih Buron, Polisi: Dia Pindah-Pindah Terus
Andreas mengatakan dari transaksi yang telah disepakati, Agusrin baru membayar Rp2,5 miliar. Agusrin dan Raden Saleh lalu berjanji akan membayar sisanya melalui cek.
"Karena pertama kali di DP segitu sisanya baru dibayar melalui cek. Dan cek itu dibuka Rp10,5 miliar dan Rp20 miliar. Kemudian sudah jatuh tempo bulan September 2021, tapi tidak dibayar. Terus ditagih dan mereka bayar kembali Rp4,7 miliar. Jatuhnya tetap dibayar Rp7,5 miliar dari Rp33 miliar," ujar Andreas.
Pada akhir 2019, pihak pelapor mencoba melakukan mediasi kepada terlapor, namun tidak digubris.
Atas dasar itu, pihak pelapor membuat laporan di Polda Metro Jaya pada Maret 2020. Laporan itu teregister dengan nomor LP:1812/III/Yan 2.5/2020/SPKTPMJ tertanggal 17 Maret 2020.
Baca Juga: Tim Labfor Selidiki Kebakaran Sekretariat DPRD Kota Bengkulu
Satu tahun berselang, pihak penyidik Polda Metro Jaya kemudian menetapkan dua terlapor tersebut sebagai tersangka pada 30 September 2021.
Penulis : Johannes Mangihot Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV