> >

Wawancara Gus Yahya (Bag-1): Khittah NU Mengharuskan PBNU Tidak Berpolitik Praktis

Wawancara | 20 Desember 2021, 15:11 WIB
Gus Yahya maju sebagai ketua PBNU di Muktamar Lampung 22-23 Desember. Ia bicara soal gagasan NU dan khittah NU sebagai pedoman politik warga NU (Sumber: kompas.tv/dedik priyanto)

 

JAKARTA, KOMPAS.TV - KH Yahya Cholil Staquf atau biasa  Gus Yahya merupakan salah satu kader  NU yang kini mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PBNU dalam Muktamar di Lampung, 22-23 Desember 2021.

Ia mengabdi di organisasi sejak belia, sejak di bangku SMA dan malang melintang mengurusi NU hingga diamanahi jabatan Katib Aam PBNU, salah satu posisi strategis di organisasi para ulama yang didirikan sejak tahun 1926 tersebut.

Dia juga menjadi pendamping Gus Dur ketika  diamanahi jadi juru bicara kepresidenan selama periode presiden keempat tersebut tahun 1999-2001.

Dalam gelaran Muktamar NU ke-34 di Lampung,  anak dari almarhum KH Cholil Bisri ini  mengaku didukung oleh sebagian besar cabang dan wilayah NU yang tersebar di Indonesia, hingga cabang istimewa NU di luar negeri.

KOMPAS TV mendapatkan kesempatan  berbincang dengan sosok kelahiran Rembang 16 Februari 1966 tersebut usai peluncuran buku bertajuk ‘Menghidupkan Gus Dur: Catatan Gus Yahya Kenangan Yahya Staquf’ karya penulis AS Laksana di  Jakarta Selatan, Sabtu sore (20/12).

“Nanti saja wawancara, ikut makan dulu. Masak lapar disuruh ngomong,” kata Gus Yahya.

Ia pun mengajak untuk menaiki mobil bersama Ketua PBNU KH Saifullah Yusuf (Gus Ipul) dan penulis AS Laksana.

Gus Yahya memakai baju putih dengan peci hitam. Kumisnya mengintip tipis, rambutnya tergerai rapi ketika sesekali membuka peci dan ia begitu tampak bersemangat ketika membincang NU dan masa depan organisasi.

Di sela-sela perjalanan menuju rumah makan, Gus Yahya sempat ‘nyeletuk’ soal Islam Nusantara sebaga representasi Islam di Indonesia yang memiliki banyak tafsir, konsep yang dikenalkan kembali oleh NU sebagai khazanah Islam yang bertolak dari tradisi.

Usai bersantap sore, kami pun berbincang tentang banyak. Sambi duduk, sesekali ia mengelap kacamatanya yang sedikit berembun usai makan. Beberapa kali menyunggingkan senyum laiknya kiai NU: ramah, suka guyon dan santai.

Kami berbincang mulai dari soal tudingan keliru NU secara organisasi dianggap jauh dari para Hababib, politik identitas, visi kebangsaan-kenegaraan, hingga upaya Gus Yahya 5 tahun membenahi organisasi NU jika terpilih jadi ketua PBNU di Muktamar. Berikut petikannya: 

Baca Juga: Gagasan Gus Yahya di Muktamar ke-34: Konsolidasi Organisasi hingga Jadikan NU Juru Damai Global

Soal Khittah NU yang kerap dibicarakan Gus Yahya, bagaimana bisa tetap menjalankan konsep ini di tengah tarik-menarik politik yang kerap menyeret NU?

Tahun 1979 di Forum Muktamar ke-26 (Muktamar berlangsung di Semarang-red) ada keputusan kembali ke khittah NU. Diartikan sebagai, prosesi withdrawl atau penarikan diri NU dari politik praktis. Perlu digaris bawahi, politik praktis. Bukan politik titik.  

Apa itu politik praktis? Ya kompetisi politik di pemilu, pemilihan pejabat dan seterusnya. Ini memang terma yang dibikin khas orde baru. Artinya apa? NU menarik diri dalam politik praktis, karena NU tidak lagi bisa beroperasi sebagai partai, sudah difusikan di PPP.

NU harus kembali jadi organisasi sosial keagamaan. Kembali ke khittah 1979. Lalu muncul kembali wacana khittah (khittah secara bahasa bermakna jalan atau garis perjuangan-red).

Lantas khittahnya seperti apa?

Pada Muktamar 1984 di Situbondo dirumuskanlah namanya Khittah Nahdliyah. Lalu diuraikan nilai prinsip dasar perjuangan atau disebut khittah NU.

Kalau sekarang bagaimana? Dengan tarikan politik yang kian kencang dan selalu begitu tiap tahun.

Tahun 1989 dibuatlah keputusan muktamar tentang panduan berpolitik NU. Kalau PBNU tidak boleh ikut-ikutan. Kalau warga NU boleh dan bebas berpolitik asal bertanggung jawab.

Itu prinsip yang sudah diputuskan sejak lama di NU.

Jadi, itu alasan soal sikap Gus Yahya menolak ikut politik praktis?

Itulah kenapa saya bilang, saya tidak mau jadi calon presiden atau wakil presiden untuk mendatang. Saya juga tidak mau presiden atau calon presiden dari PBNU dasarnya adalah keputusan yang telah dibuat sejak zaman dahulu oleh organisasi.

Itu lama sudah diputuskan, cuma orang banyak lupa, termasuk warga Nahdliyin.

Dari situ, muncul relasi NU-Negara, bagaimana konsep praktisnya?

Di tahun 1989 itu juga terdapat penjelasan terkait relasi NU-Negara, itu sudah lama. Anda bisa cari dan berisi konsepsi politik kebangsaan NU. Bagaimana soal NU terkait konsepsi politik.

Ini juga sekali lagi menegaskan soal NU bisa jadi penyanggah bangsa dan negara. Jika NU kuat, maka negara pun sama. (Bersambung)

Penulis : Dedik Priyanto Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU