Literasi Soal Kekerasan Seksual Rendah, Jadi Kendala Lindungi Perempuan dan Anak
Peristiwa | 18 Desember 2021, 19:30 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Jumlah kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak terus meningkat. Sayangnya, tingkat literasi masyarakat dan bahkan di kalangan penegak hukum mengenai kekerasan seksual, masih lemah.
Demikian terungkap dalam diskusi webinar mengenai kisah-kisah kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak yang diselenggarakan Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), Sabtu (18/12/2021).
Lemahnya tingkat literasi mengenai kekerasan seksual ini, menjadi penghambat upaya perlindungan perempuan dan anak. Karena itu sejumlah narasumber diskusi menekankan pentingnya langkah nyata pemerintah untu memberikan edukasi maupun penyuluhan secara luas.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menyoroti banyaknya kasus kekerasan seksual dan pelecehan menimpa perempuan dan anak, karena minimnya pengetahuan soal kekerasan seksual.
Baca Juga: Pelaku Pemerkosaan 2 Anak Kandung Tertangkap, Wajahnya Sudah Babak Belur
Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui apa saja perbuatan yang tidak boleh dilakukan dan seperti apa tindakan-tindakan yang masuk dalam kategori kekerasan seksual.
Karena ketidakpahaman ini, banyak kasus kekerasan seksual tidak berlanjut sampai ke proses hukum.
“Kenapa banyak kasus tidak naik hukum? Pengetahuan minim. Betul-betul tidak tahu tindakan yang tidak boleh dilakukan,” ujar Andy Yentriyani.
Dia menyampaikan, penting untuk masyarakat mendapat pendidikan mengenai otonomi tubuh. Misalnya soal bagian tubuh yang tidak boleh disentuh orang lain dan juga perbuatan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Baca Juga: Setiap Hari Terjadi 15 Kasus Kekerasan Seksual, tapi RUU TPKS Tak Kunjung Disahkan
Namun untuk membicarakan secara terbuka mengenai pendidikan seksualitas, seringkali terhambat dengan budaya patriarki dalam masyarakat. Pendidikan seks justru secara keliru kerap dianggap sebagai pemakluman perilaku seks bebas.
Komnas Perempuan mencatat, kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan dua kali lipat, yaitu mencapai 4.500 kasus hingga September 2021.
Sementara pada kasus anak, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPA) mengungkapkan hingga September 2021, terdapat 9.428 kasus kekerasan terhadap anak. Dari kasus-kasus yang terjadi, mayoritas tidak memberikan keadilan kepada korban.
Kemeterian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindunan Anak mengakui masih lemahnya literasi mengenai kekerasan seksual.
Baca Juga: Komnas Perempuan Kecewa Penetapan RUU Kekerasan Seksual Ditunda, Ini 4 Pernyataan Sikapnya
Deputi Bidang Perlindungan Anak Kemen PPA Nahar mengakui juga soal kekurangan petugas penyuluhan yang dapat memberikan edukasi mengenai kekerasan seksual. Padahal penyuluhan kepada masyarakat diharapkan bisa meningkatkan pengetahuan sehingga meningkatkan pencegahan kekerasan seksual.
Dia juga menyoroti mengenai pemahaman penegak hukum soal kekerasan seksual. Pemahaman yang baik dari aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa dan hakim, dapat menjadi kunci penyelesaian kasus kekerasan seksual yang benar-benar memberikan keadilan kepada korban.
“Pemahaman penyidik, penuntut, dan hakim. Ini menjadi sangat kunci persoalan. Penyidikan apa ini masuk kategori persetubuhan akan beda hasil akhirnya,” urainya.
Sementara Wakil Ketua Komisi 8 DPR RI Diah Pitaloka menyebut perjuangan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk menjadi undang-undang, belum berhasil dilakukan di 2021.
Dia mengatakan pada 2022 mendatang RUU TPKS akan kembali dia perjuangkan dan memasukannya sebagai RUU inisiatif DPR.
Menurutnya perjalanan memperjuangkan RUU tersebut sejak 2015 tidak mudah. Dia mengaku di DPR sendiri tidak kedap dengan berbagai kepentingan. Kepentingan dan suara-suara tersebut merupakan refleksi keadaan sosial kultural masyarakat Indonesia.
“Jadi RUU inisatif saja harus bertempur. DPR juga tidak kedap. Refleksi sosio kultural kita,” ungkapnya.
Penulis : Vidi Batlolone Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV