Politikus PAN Desak Presidential Threshold Ditiadakan Saat Pilpres 2024
Politik | 13 Desember 2021, 12:28 WIBJAKARTA, KOMPAS TV - Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus mendesak agar aturan Presidential Threshold ditiadakan. Pasalnya, dengan adanya aturan itu, maka demokrasi di Indonesia masih diwarnai dengan biaya politik yang tinggi.
Menurut dia, sudah seharusnya perhelatan Pilpres 2024 nanti itu tak lagi menghilangkan hak seseorang yang berkompeten untuk berkompetisi di dalam pesta demokrasi lima tahunan tersebut.
"Dan ini yang dijadikan peluang bagi oligarki untuk mensponsori figur yang ingin maju dalam pilpres. Setelah sosok pemimpin yang dibiayainya itu terpilih, maka kepentingan para oligarki tentu harus diakomodir sehingga tersandera kepentingan pihak lain yang mendorong terjadinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)," kata Guspardi kepada Kompas TV, Senin (13/12/2021).
Baca Juga: Didampingi Refli Harun, 2 Anggota DPD RI Gugat Presidential Threshold dari 20 Persen Jadi 0 Persen
Politikus PAN ini menilai, penerapan sistem presidential threshold terkesan sebagai upaya membatasi hak konstitusional rakyat dalam menentukan calon pemimpinnya.
"Presidential threshold juga lari dari semangat reformasi, lantaran tidak membuka ruang demokrasi guna memberikan kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk memilih mana calon yang terbaik tanpa perlu diatur dan diseleksi terlebih dahulu oleh mekanisme ambang batas," ujarnya.
Ia menyebut, dengan dihapusnya aturan presidential threshold juga dapat menjadi salah satu jalan keluar guna mencegah polarisasi di tengah masyarakat.
"Jangan sampai pesta demokrasi yang seharusnya disikapi dengan kegembiraan, justru menciptakan permusuhan yang berkepanjangan di antara anak bangsa," katanya.
Baca Juga: DPD Usulkan Presidential Threshold 20 Persen Dihapus
Ia mengatakan, pengalaman kontestasi Pilpres 2019 lalu seharusnya bisa menjadi pelajaran penting bahwa penetapan presidential threshold yang telah mengakibatkan rakyat terpolarisasi menjadi dua kubu yang saling gontok-gontokan.
"Akibatnya terjadi berbagai pembelahan yang membuat terjadinya persekusi, timbulnya fitnah, merajalelanya hoaks, dan lain-lain. Lalu dilanjutkan dengan narasi-narasi yang menjatuhkan pasangan lawan atau kubu lawan," kata dia.
Penulis : Fadel Prayoga Editor : Purwanto
Sumber : Kompas TV