Kemenag Tutup 2 Pesantren yang Dipimpin Herry Wirawan, si Pemerkosa Belasan Santriwati di Bandung
Hukum | 11 Desember 2021, 13:15 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Kementerian Agama (Kemenag) sudah mencabut izin operasional Pesantren Manarul Huda Antapani, Bandung.
Pesantren tersebut dipimpin Herry Wirawan (HW) yang saat ini menjadi terdakwa pemerkosaan terhadap 12 santriwati.
Selain itu, Kemenag juga menghentikan operasional Pesantren Tahfidz Quran Almadani yang juga diasuh HW. Lembaga itu belum memiliki izin operasional dari Kemenag.
Dirjen Pendidikan Islam M Ali Ramdhani mengatakan, pemerkosaan adalah tindakan kriminal. Kemenag mendukung langkah hukum yang telah diambil kepolisian.
Sebagai regulator, kata Ali, Kemenag memiliki kuasa administratif untuk membatasi ruang gerak lembaga yang melakukan pelanggaran berat seperti ini.
"Kita telah mengambil langkah administratif, mencabut izin operasional pesantren tersebut," kata Ali dalam keterang tertulisnya, Jumat (10/12/2021).
Sementara itu, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag, Waryono mengungkapkan, pihaknya sejak awal telah mengawal kasus ini, berkoordinasi dengan Polda Jawa Barat dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jawa Barat.
Langkah pertama yang sudah diambil adalah menutup dan menghentikan kegiatan belajar mengajar di lembaga pesantren tersebut.
Kemenag langsung memulangkan seluruh santri ke daerah asal masing-masing dan membantu mereka mendapatkan sekolah lain untuk melanjutkan belajarnya. Dalam hal ini, Kemenag bersinergi dengan madrasah-madrasah di lingkup Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama.
Baca Juga: PBNU Soroti Kasus Pemerkosaan 12 Santriwati di Bandung: Tak Semua Guru Agama Punya Wawasan Cukup
Didesakan Hukum Kebiri
Desakan hukuman maksimal hingga kebiri terhadap Herry Wirawan, pelaku pemerkosaan lebih dari 10 santriwati di Bandung, terus berdatangan dari berbagai pihak dan lembaga.
Salah satu desakan hukuman maksimal bagi Herry disuarakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA).
Kemen PPPA menilai terdakwa kasus pemerkosaan terhadap 12 santriwati dapat diancam tambahan hukuman kebiri sesuai Pasal 81 ayat 7 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2016 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016.
"Kami mendukung proses peradilan yang sedang berlangsung serta mendorong penerapan hukuman yang tegas dan maksimum terhadap terdakwa yang telah melakukan perbuatan sangat keji terhadap anak yang ingin mendapatkan pendidikan terbaiknya," kata Deputi Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar dilansir dari Antara, Jumat (10/12).
Diberitakan KOMPAS.TV sebelumnya, Herry Wirawan, guru pesantren di Cibiru, Kota Bandung didakwa melakukan pemerkosaan terhadap 12 santriwati selama lima tahun sejak 2016 – 2021.
Bahkan empat santriwati melahirkan delapan anak.
Dalam persidangan yang sedang berlangsung, terdakwa disangkakan melanggar Pasal 81 ayat (1) dan ayat (3) Jo Pasal 76D UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 65 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pelaku terancam hukuman lebih dari 5 tahun.
Nahar menyebut bahwa saat ini korban telah mendapat pendampingan dari Lembaga Layanan Perlindungan Perempuan dan Anak yang dikoordinasikan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Jawa Barat.
"Perhatian khusus diberikan untuk pendampingan psikososial agar anak korban pulih dan dapat kembali ke masyarakat," kata Nahar.
Baca Juga: Guru Pesantren Cabuli Belasan Santriwati, DPR: Ini Adalah Masalah Besar, Masalah Bangsa Kita
Nahar meminta semua pihak termasuk media berhati-hati dalam menyampaikan informasi serta tidak memberi stigma kepada korban. Menurut dia, korban berhak mendapatkan perlindungan identitas diri atau privasi demi menghindari dampak-dampak buruk lainnya.
Nahar mengatakan kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan berasrama sangat sering terjadi.
Kemen PPPA pun mengharapkan adanya langkah pencegahan yang serius dari semua pihak, baik dari pengelola lembaga pendidikan maupun melibatkan pengawasan orangtua dan pihak-pihak lainnya.
Pihaknya mendorong agar setiap lembaga pendidikan dan pengasuhan, termasuk pesantren harus memiliki dan menerapkan standar pengasuhan bagi anak yang berada di bawah tanggung jawabnya.
"Kami juga mengharapkan orang tua turut mengawasi anaknya yang ditempatkan di lembaga pengasuhan atau pendidikan dan membangun komunikasi yang intens dengan anak sebagai bagian dari tanggung jawab pengasuhan yang tidak boleh dilepaskan begitu saja kepada lembaga tersebut," ujar Nahar.
Nahar mengatakan lembaga pengasuhan atau pesantren wajib memberikan orientasi kepada peserta didik untuk melindungi dirinya dari segala bentuk tindak kekerasan dan memiliki akses untuk melaporkan segala bentuk perlakuan yang diterima.
Baca Juga: Soal Guru Pemerkosa 12 Santriwati di Bandung, Anggota DPR: Bukan Monster tapi Bapaknya Monster!
Penulis : Hedi Basri Editor : Gading-Persada
Sumber : Antara