Pilu Orangtua Santriwati Korban Perkosaan Guru Pesantren di Bandung: Dunia Serasa Kiamat
Hukum | 10 Desember 2021, 14:37 WIBBANDUNG, KOMPAS.TV - Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Garut, Diah Kurniasari Gunawan, menyaksikan pilunya momen pertemuan para orangtua santri dari Garut yang anaknya menjadi korban perkosaan gurunya di Cibiru, Bandung, Jawa Barat.
Diah mengaku merasakan betul rasa kecewa, marah, dan perasaan yang berkecamuk dari para orangtua.
"Rasanya bagi mereka mungkin dunia ini kiamat, ada seorang bapak yang disodorkan anak usia 4 bulan oleh anaknya, enggak, semuanya nangis," kata Diah dilansir dari Kompas.com, Jumat (10/12/2021).
Bagiamana tidak, orangtua yang kebanyakan dari keluarga menengah ke bawah itu sebelumnya menaruh harapan besar anak-ankanya menuntut ilmu di pesantren, ternyata telah memiliki anak setelah dicabuli guru ngajinya yang mereka percayai sebelumnya.
Kata Diah, selain berat menerima kenyataan anaknya jadi korban, para orangtua juga kebingungan membayangkan masa depan anak-anaknya. Bagaimana lingkungan tempat tinggal anak yang dikhawatirkan tidak bisa menerima.
"Di kecamatan ini (lingkungan rumah korban), saya sampai datang beberapa kali nengok yang lahiran, ngurus sekolahnya, ketemu tokoh masyarakatnya," katanya.
Baca Juga: Terungkap, Santriwati Korban Perkosaan Guru Pesantren di Bandung Juga Dipaksa Jadi Kuli Bangunan
Peristiwa pilu itu terjadi saat dirinya mengawal pertemuan para orangtua dengan anak-anaknya di kantor P2TP2A Bandung, setelah dibawa keluar dari lingkungan pondok pesantren oleh penyidik Polda Jabar.
Kondisi yang sama, menurut Diah, juga terjadi di kantor P2TP2A Garut. Saat para orangtua yang tidak tahu anaknya menjadi korban pencabulan guru ngajinya diberi tahu kasus yang menimpa anaknya. Sebelum kemudian mereka dipertemukan pertama kali di kantor P2TP2A Bandung dan dibawa ke P2TP2A Garut.
Menurut Diah, kasus tersebut sangat-sangat menguras emosi semua pihak, terlebih saat dilakukan terapi psikologi terhadap anak-anak dan orangtuanya yang dilakukan tim psikolog P2TP2A.
"Sama, kita semua juga marah pada pelaku setelah tahu ceritanya dari anak-anak, sangat keterlaluan, kita paham bagaimana marah dan kecewanya orangtua mereka," katanya.
Orangtua korban kebanyakan bukan orang mampu, dan berharap sekolah gratis di pesantren namun yang jadi kenyataan adalah anaknnya menjadi korban perkosaan pengasuh pesantren.
Selain korban, orangtua korban juga menjadi trapi psikologis.
Baca Juga: Belum Usai Kasus Pemerkosaan di Bandung, 9 Santriwati di Tasikmalaya Juga Dicabuli Guru Pesantren
Korban Bertambah
Santriwati korban pemerkosaan guru pesantren Herry Wiryawan atau HW di Kota Bandung, Jawa Barat kini bertambah.
Awalnya diberitakan, korban yang masih berada di rentang usia 13-16 tahun ada sebanyak 12. Kini bertambah satu orang, sehingga korban berjumlah 13 orang.
Selain itu, seperti laporan Nazla Afifa Jurnalis KompasTV, dua orang korban yang dinyatakan sedang mengandung kini dilaporkan sudah melahirkan.
"Sehingga sudah ada lebih dari 10 anak lahir akibat perilaku yang dilakukan HW," kata Nazla Afifa dikutip dalam program Sapa Indonesia Pagi KOMPAS TV, Jumat (10/12/2021).
Lebih lanjut, Nazla melaporkan sejak kasus pemerkosaan di pondok pesantren tersebut diketahui publik.
Sekolah yang berada di daerah Cibiru tersebut langsung ditutup dan tidak ada kegiatan apapun yang dilakukan.
Adapun saat ini, HW sedang proses persidangan untuk mendapatkan hukuman maksimal dari aparat penegak hukum.
Berdasarkan pantauan Jurnalis KompasTV, sidang perdana yang dilakukan pada Selasa (7/12/2021) di Pengadilan Negeri Kota Bandung dilakukan secara tertutup.
Hal ini dilakukan lantaran dalam persidangan yang dilakukan masih berkutat pada pemeriksaan saksi. Adapun saksi merupakan korban pemerkosaan yang umurnya masih dikategorikan anak-anak.
Adapun HW yang kini berstatus sebagai terdakwa karena telah memasuki proses peradilan, terancam hukuman 20 tahun penjara akibat perbuatannya.
Baca Juga: Fakta Terbaru Pemerkosaan Santriwati di Bandung: 13 Korban, Lebih dari 10 Anak Lahir
Penulis : Hedi Basri Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Kompas TV/kompas.com