Disebut Legalkan Seks Bebas, Kemendikbud: Fokusnya Pencegahan dan Penindakan Kekerasan Seksual
Hukum | 8 November 2021, 19:16 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Beberapa pihak menolak Permendikbudristek 30/2021 karena menilai ada pelegalan seks bebas. Padahal, aturan itu untuk mencegah dan menindak kekerasan seksual di universitas.
Plt Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Nizam menegaskan, pihaknya menerbitkan Permendikbudristek 30/2021 berdasarkan aspirasi masyarakat.
"Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 hadir sebagai langkah awal kita untuk menanggapi keresahan mahasiswa, dosen, pimpinan perguruan tinggi, dan masyarakat tentang meningkatnya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi kita,” kata Nizam pada Senin (8/11/2021), dikutip dari situs Kemendikbud.
Baca Juga: Aturan Kekerasan Seksual di Universitas: Dilarang Merayu, Sanksi Pemecatan, Penurunan Akreditasi
Nizam mengatakan, dengan aturan itu kini pihak universitas sudah memiliki payung hukum untuk melakukan penindakan.
“Dengan telah ditetapkan serta terbitnya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021, maka secara yuridis pihak perguruan tinggi dapat melakukan langkah-langkah legal menindak pelaku kekerasan seksual,” ujar Nizam.
Ini mengingat survei Ditjen Diktiristek pada 2020 mencatat 77 persen dosen mengaku ada kekerasan seksual di kampus dan 63 persen korban tidak melaporkan kasusnya pada pihak pengelola universitas.
“Kebanyakan dari mereka takut melapor dan kejadian kekerasan seksual menimbulkan trauma bagi korban. Hal ini menggambarkan betapa mendesaknya peraturan ini dikeluarkan,” jelas Nizam.
Ia juga membantah anggapan masyarakat bahwa aturan ini melegalkan seks bebas.
"Tidak ada satu pun kata dalam Permen PPKS ini yang menunjukkan bahwa Kemendikbudristek memperbolehkan perzinaan. Tajuk di awal Permendikbudristek ini adalah ‘pencegahan', bukan ‘pelegalan',” tegas Nizam.
“Fokus Permen PPKS adalah pencegahan dan penindakan atas kekerasan seksual. Sehingga definisi dan pengaturan yang diatur dalam permen ini khusus untuk mencegah dan mengatasi kekerasan seksual,” imbuhnya.
Menurut Nizam, pihaknya justru membuat aturan itu untuk menerapkan moral dan akhlak mulia sesuai tujuan utama pendidikan dalam berbagai aturan perundang-undangan.
Baca Juga: Ironi Penolakan Aturan Pencegahan Kekerasan Seksual dan Banyaknya Korban Takut Melapor
"Kami mengajak pimpinan perguruan tinggi untuk dapat menyiapkan dan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual sesuai Permendikbudristek 30/2021 agar kampus kita menjadi lingkungan belajar yang semakin aman dan nyaman untuk mewujudkan Merdeka Belajar,” kata Nizam.
Permendikbudristek 30/2021 mendapat penolakan dari beberapa pihak, salah satunya PP Muhammadiyah.
Ketua Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan PP Muhammadiyah Prof Lincolin Arsyad menilai ada masalah formil dan materiil dalam aturan itu.
“Rumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam pasal 5 Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan,” ujar Lincolin pada Senin, dikutip dari Antara.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM itu juga menyoroti pelanggaran otonomi kampus dan hukuman berat bagi universitas yang tidak patuh aturan.
“Pertama, aturan itu mengatur materi muatan yang seharusnya diatur dalam level undang-undang, seperti mengatur norma pelanggaran seksual yang diikuti dengan ragam sanksi yang tidak proporsional. Kedua, Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 mengatur norma yang bersifat terlalu rigid dan mengurangi otonomi kelembagaan perguruan tinggi,” papar Lincolin.
Lalu, Lincolin juga menilai pembuatan Permendikbudristek 30/2021 tidak memenuhi asas keterbukaan.
Baca Juga: BEM UNRI Minta Mahasiswa Dilibatkan dalam Pengusutan Kasus Dugaan Pelecehan Seksual
Penulis : Ahmad Zuhad Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Kompas TV/Antara