Hati-hati! Penggunaan Antibiotik Sembarangan Bisa Bikin Penyakit Makin Susah Sembuh
Kesehatan | 5 November 2021, 15:27 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Penggunaan antibiotik sembarangan dan tidak sesuai dengan rekomendasi dokter, merupakan salah satu penyumbang terbesar angka resistensi antimikroba (AMR) di dunia kesehatan. Implikasi dari AMR adalah sulitnya penyembuhan penyakit dan semakin tingginya biaya kesehatan.
Hal itu diungkapkan Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) RI periode 2014-2021 dr. Harry Parathon, Sp.OG (K).
Itu pula yang menjadikan AMR sebagai salah satu dari sepuluh ancaman kesehatan global yang paling berbahaya di dunia.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), penggunaan antibiotik meningkat 91 persen secara global dan meningkat 165 persen di negara-negara berkembang pada periode 2000-2015.
"UU Obat keras tersebut menyatakan bahwa obat keras adalah obat-obatan yang tidak digunakan untuk keperluan teknik, mempunyai khasiat mengobati, menguatkan, mendesinfeksikan tubuh manusia, baik dalam bungkusan maupun tidak," jelas dr. Harry dalam seminar online pada Jumat (5/11/2021).
Di Indonesia, peraturan mengenai penjualan obat antibiotik diatur dalam UU Obat Keras tahun 1949, disebutkan bahwa yang berwenang untuk meresepkan obat antibiotik hanyalah dokter, dokter gigi, dan dokter hewan.
Baca Juga: Riset AMR: 2 dari 3 Pembelian Antibiotik di Indonesia Tanpa Resep Dokter
"Selain itu disebutkan juga bahwa pada bungkus luar obat keras harus dicantumkan tanda khusus ini berupa kalimat ‘Harus dengan resep dokter’ yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 197/A/SK/77 tanggal 15 Maret 1977," paparnya.
Oleh karena itu, Dr. Harry menyebutkan, ada aturan Penatagunaan Antimikroba (PGA) yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan, didasari oleh Permenkes Nomor 8/2015 tentang implementasi Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) di rumah sakit.
Peraturan itu bertujuan untuk meningkatkan kesembuhan pasien, mencegah dan mengendalikan resistansi antimikroba, menurunkan angka kejadian rawat inap berkepanjangan, dan menurunkan kuantitas penggunaan antimikroba.
Tim dari PGA ini berfungsi untuk membantu pelayanan kesehatan di rumah sakit dalam menerapkan penggunaan antimikroba secara bijak dan mendampingi dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) dalam menetapkan diagnosis penyakit infeksi, memilih jenis antimikroba, dosis, rute, saat dan lama pemberian.
"Sedangkan, tugas dari DPJP adalah menegakkan diagnosis infeksi bakteri, memberikan antimikroba sesuai dengan panduan pelayanan klinik, dan bekerja sama dengan Tim PGA KSM dan Tim PGA KPRA-RS," imbuhnya.
Baca Juga: Cara Penggunaan Antibiotik untuk Obati Jerawat Menurut Pakar
Penulis : Fransisca Natalia Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Kompas TV/Antara