> >

Kritik Keras Rachmat Gobel soal APBN untuk Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Peristiwa | 31 Oktober 2021, 09:33 WIB
Proses peluncuran girder ke salah satu terowongan Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Ekonom Faisal Basri menyebut proyek itu mubazir dan tidak akan balik modal sampai kiamat (14/10/2021) (Sumber: KCIC)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Wakil Ketua DPR RI Rachmat Gobel mengkritik kebijakan pemerintah yang menggelontorkan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada proyek pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung. 

Alih-alih digunakan untuk membiayai proyek kereta api cepat, menurutnya, APBN sebaiknya difokuskan untuk pemulihan ekonomi, pembangunan infrastruktur dasar, dan untuk pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) yang baru.

“Soal kereta cepat biar kita serahkan ke investornya. Ini sesuai dengan ide awal yang berprinsip business to business,” katanya dikutip dari Antara, Minggu (31/10/2021). 

Diketahui, China berhasil memenangkan persaingan dengan Jepang dalam pembangunan kereta cepat sepanjang 142,3 km tersebut dengan proposal sebesar 5,5 miliar dollar AS, sementara Jepang mengajukan proposal dengan nilai 6,2 miliar dolar AS.

Ia menjelaskan, China juga menang karena tak meminta jaminan pemerintah, tak ada keterlibatan APBN, dan skema business to business.

Namun kemudian biayanya membengkak menjadi 6,07 miliar dolar AS, dan kini bengkak lagi menjadi 7,97 miliar dolar AS.

Baca Juga: Pemerintah Pakai Rp4,3 Triliun Uang APBN untuk Kereta Cepat Jakarta-Bandung

“Kita tidak tahu apakah akan ada kenaikan lagi atau tidak. Yang pasti hingga kini sudah bengkak dua kali. Kondisi ini sudah berkebalikan dengan tiga janji semula serta sudah lebih mahal dari proposal Jepang. Padahal dari segi kualitas pasti Jepang jauh lebih baik,” kata Rachmat Gobel.

Menurutnya, agar Indonesia konsisten dengan skema business to business, maka pembengkakan biaya itu diserahkan ke perusahaan konsorsium Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).

Konsorsium ini melibatkan sembilan perusahaan. Dari Indonesia ada empat BUMN yaitu Wijaya Karya, Jasamarga, Perkebunan Nusantara VIII, dan KAI.

Sementara itu, dari China adalah China Railway International Company Limited, China Railway Group Limited, Sinohydro Corporation Limited, CRRC Corporation Limited, dan China Railway Signal and Communication Corp.

Dari Indonesia membentuk badan usaha PT Pilar Sinergi BUMN dan dari China membentuk China Railway. Lalu keduanya membentuk KCIC.

“Jadi jika terjadi pembengkakan biaya maka diserahkan kepada perusahaan-perusahaan tersebut. Dan jika ada perusahaan yang tak mampu menyetorkan biaya tambahan maka sahamnya terdelusi dengan sendirinya. Ini proses bisnis yang biasa saja," katanya. 

Baca Juga: Bukan Cuma Indonesia, Ini Daftar Proyek Kereta Cepat Negara Lain yang Biayanya Bengkak

"Ini namanya business to business. Jangan memaksakan diri dengan meminta dana dari APBN,” lanjut Rachmat Gobel.

Proyek kereta cepat Jakarta - Bandung banyak dikritik dan menuai polemik setelah nilai investasinya bengkak dari estimasi sebelumnya sebesar Rp 86,5 triliun menjadi Rp 114 triliun. 

Pemerintah rencananya akan menggunakan dana APBD untuk menutup kekurangan dana sehingga proyek tidak mangkrak.

Padahal, pada awalnya, pemerintah tegas berjanji tidak akan menggunakan duit APBN untuk proyek tersebut. 

Estimasi biaya pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung saat ini juga sudah jauh melampaui proposal penawaran biaya investasi kereta cepat dari Jepang melalui JICA.

Baca Juga: Pemerintah Bantah Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung Butuh Utang Tersembunyi dari China

Penulis : Hasya Nindita Editor : Fadhilah

Sumber : Kompas TV


TERBARU