Dinamika Jelang Pilpres 2024, Fenomena Politik Dinasti di Parpol hingga Sejarah Jokowi pada 2014
Politik | 21 Oktober 2021, 06:05 WIBKesimpulan lain dari hasil survei itu terkait kecenderungan masyarakat memilih sosok populer.
“Ini mencerminkan politik elektoral kita sejak ada pemilihan presiden langsung, arahnya semakin kandidat-sentris. Orang itu melihat figur,” papar Hurriyah.
Baca Juga: Relawan Sebut Ganjar Pranowo “The Next Jokowi”, PDI Perjuangan: Kami Catat
Menurut Hurriyah, fenomena ini bahkan terlihat dalam pemilihan legislatif hingga pemilihan kepala daerah (Pilkada).
“Dalam Pilpres atau Pilkada, figur kandidat itu menjadi sangat menonjol. Itu kenapa partai bisa sibuk membuat koalisi macam-macam untuk mengusung orang, tapi sangat mungkin dia kalah dengan figur yang populer di akar rumput,” ujar Hurriyah.
Meski begitu, ia tidak menihilkan kemungkinan bahwa partai politik selalu mengikuti hasil survei.
“Persoalannya, elektabilitas dan popularitas ini bisa dikerek. Tapi, survei ini jadi bahan pertimbangan yang sering digunakan partai karena ingin menang pemilu,” kata Hurriyah.
Ia memberi contoh, elite politik dapat melihat kesuksesan PDIP saat mengusung Joko Widodo pada Pilpres 2014 sesuai hasil survei.
“Pada 2014 lalu juga sama, PDIP mengusung Jokowi di akhir-akhir (sebelum batas pendaftaran capres). Awalnya, ada penolakan cukup keras di internal PDIP,” tutur Hurriyah.
“Tetapi karena survei menunjukkan Jokowi semakin populer, elektabilitasnya semakin tinggi. Kalau partai ingin menang, pilihannya figur yang populer,” lanjutnya.
Meski begitu, sosok populer tetap bergantung dengan dukungan parpol untuk maju menjadi calon presiden dan calon wakil presiden.
Hal itu mengingat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur bahwa hanya partai politik atau gabungan parpol dengan minimal 20 persen kursi DPR atau meraih 25 persen suara sah nasional pada Pemilu 2019 yang bisa mengusung capres di Pilpres 2024.
Penulis : Ahmad Zuhad Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Kompas TV