Komnas Perempuan Sebut Kesaksian Ibu dan Tiga Anak di Luwu Timur Tidak Dipertimbangkan Polisi
Peristiwa | 18 Oktober 2021, 15:36 WIBJAKARTA, KOMPAS. TV – Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menggelar konfrensi pers terkait kasus dugaan pencabulan terhadap tiga anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Komnas Perempuan menyebut kesaksian polisi tidak mempertimbangkan kesaksian tiga anak tersebut, meski cerita mereka konsisten satu sama lain.
Menurut Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, tiga anak telah memberikan kesaksian pada saat assessment di Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TP2A) Sulawesi Selatan. Ketiga anak tersebut, telah bercerita secara konsisten mengenai peristiwa pencabulan oleh ayah mereka dan dua orang lainnya.
Namun, kata Siti Aminah, kepolisian tidak menjadikan hasil assessment tersebut sebagai alat bukti. Akhirnya polisi pun menghentikan penyelidikan.
“Penyelidikan ini tidak menjadikan hasil assessment P2TP2A Sulawesi Selatan sebagai alat bukti. Padahal di assessment ini para korban menceritakan secara konsisten dan menguatkan satu sama lain apa yang mereka alami oleh ayah mereka dan dua orang lainnya,” ujar Siti Aminah, dalam konfrensi pers secara daring, Senin (18/10/2021).
Baca Juga: Update: Polisi Buka Penyelidikan Baru Dugaan Pemerkosaan 3 Anak Luwu Timur
Selain itu kepolisian juga tidak menjadikan rekam medik dari dokter anak yang pernah merawat dan mendiagnosa tiga anak tersebut. Padahal dalam diagnosa dokter tersebut menyebut adanya kerusakan pada bagian tertentu di tubuh korban.
Siti menyebut, ibu ketiga anak tersebut dan kuasa hukumnya telah meminta rekam medik tersebut menjadi dasar penyelidikan.
“Permintaan ibu korban atau kuasa hukum agar rekam medik dari dokter anak yang merawat dan mendiagnosa terjadi kerusakan, rekam mediknya tidak djadikan atau dimintakan (oleh polisi), dokternya pun tidak menjadi ahli,” ujarnya.
Padahal menurut Siti, seharusnya kepolisian dapat mengoptimalkan informasi-informasi ini agar kasus ini menjadi terang dan jelas.
Baca Juga: Kasus di Luwu Timur Dinilai Cacat Penyidikan, Kompolnas: Momentum Bagus Evaluasi Peraturan Kapolri
Siti mengatakan tidak optimalnya pengumpulan bukti membuat kepolisian menghentikan penyelidikan kasus tersebut. Penghentian tersebut akhirnya dipertanyakan oleh ibu korban dan kuasa hukumnya.
“Intinya kami (Ibu korban dan kuasa hukum) memiliki informasi, kami memiliki rekam medik, ada laporan P2TP2A Sulsel, tapi tidak dijadikan bukti,” tuturnya.
Siti mengatakan hambatan utama bagi korban kekerasan seksual memang terkait dengan aturan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dia menyebut dalam KUHAP ada pengaturan bahwa keterangan saksi yang tidak disumpah, tidak bisa menjadi alat bukti. Sedangkan, persyaratan saksi untuk bisa disumpah adalah berusia di atas 15 tahun atau sudah kawin.
Baca Juga: Ada Isu Penting dari Penyidikan Kasus Dugaan Pemerkosaan di Luwu Timur, Ini Kata Psikologi Forensik
Nah, dalam kasus di Luwu Timur, tiga anak tersebut masih berusia di bawah 15 tahun. Mereka masing-masing pada saat kejadian berlangsung berusia, 7,5 dan 3 tahun. Karena itu, meski keterangan mereka berkesesuaian dan saling menguatkan soal peristiwa pencabulan, namun tidak dijadikan bukti.
“Keterangan saksi yang tidak disumpah, meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti. Namun kalau keterangan yang sesuai itu berkesesuaian dengan saksi yang disumpah, maka baru bisa menjadi tambahan. Sifatnya hanya tambahan,” ujar Siti.
Selain itu rekam medi pun tidak dijadikan dasar, karena sifatnya dianggap lebih rendah daripada visum. Polisi sendiri telah menyertakan hasil visum sebagai salahsatu dasar penghentian penyelidikan yang menyebut tidak adanya trauma pada tiga anak tersebut.
“Kasus Luwu Timur bukan kasus yang satu-satunyanya di mana korban kekerasan seksual mengalami hambatan dan kasusnya di SP3. Banyak menimpa anak-anak termasuk penyandang disabilitas psikosial ketika menjadi korban mereka terhambat akses mendapatkan keadilan karena tidak ada keterangan saksi,” ungkap Siti.
Karena itu menurutnya penyelidikan dalam kasus di Luwu Timur dan kasus kekerasan seksual terhadap anak harus mengacu ke Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Selain itu dia berharap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) segera disahkan.
Sebab menurutnya dalam RUU PKS menjamin keterangan korban dan kesaksian penyangdang disabilitas mempunyai kekuatan hukum yang sama.
Penulis : Vidi Batlolone Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV