Fakta-Fakta Penahanan Soekarno Saat Sakit di Wisma Yaso dari Mantan Ajudan dan Sejarawan
Sosial | 5 Oktober 2021, 06:10 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Ucapan Didi Mahadika, cucu Soekarno soal “pembunuhan” sang Proklamator baru-baru ini membuat heboh masyarakat Indonesia. Sidarto Donosubroto mantan ajudan Soekarno pun membeberkan kesaksian penahanan Presiden Pertama RI itu hingga menjelang wafat.
Sidarto menuturkan, Soekarno mulai diketahui menderita sakit ginjal pada 1964. Hal itu memengaruhi situsasi politik Indonesia.
“Kita tahu semua, Soekarno pernah diperiksa di Cina beliau ada kelainan ginjal. Pada 1965 pergolakan politik ketika itu kita rasakan karena tidak sehatnya Bung Karno,” beber Sidarto pada KompasTV, Senin (4/10/2021).
Setelah Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) terbit pada 1966, Suharto mulai mengambil alih kekuasaan Soekarno.
Baca Juga: Seperti Dibunuh, Sejarawan dan Mantan Ajudan Sebut Soekarno Tak Dapat Perawatan Memadai Jelang Wafat
Puncaknya, Soekarno tidak boleh masuk Istana Negara dan menjalani masa tahanan kota pada 1967. Soekarno mejadi tahanan di Bogor dan Sidarto mendampinginya sebagai ajudan.
“Saya menguruskan Exit Permit dari Kodam Siliwangi untuk masuk Bogor dan Entry Permit dari Kodam Jaya,” tutur Sidarto.
“6 Bulan itu saya wara-wiri. Itu kira-kira 1967 sampai akhir tahun beliau tahanan kota. Setelah itu, tahanan rumah,” imbuhnya.
Soekarno menjalani tahanan rumah di Wisma Yaso yang kini menjadi Museum Satria Mandala. Wisma Yaso ini adalah rumah yang khusus dibuat Soekarno untuk istrinya, Ratna Sari Dewi Soekarno.
“Yaso itu nama adik Dewi Soekarno yang sudah meninggal. Jadi sebagai kenangan, itu dinamakan Wisma Yaso,” ujar sejarawan Asvi Warman Adam pada Kompas TV, Senin.
Menurut Asvi, sebelumnya Soekarno juga sempat sesekali tinggal di Wisma Yaso bersama Ratna Sari Dewi hingga perempuan Jepang itu kembali ke negaranya.
Sidarto mendampingi Soekarno di Wisma Yaso hingga Mei 1968. Selama itu, Soekarno hidup dengan sangat sederhana.
“Terus terang saya disuruh oleh Bung Karno untuk mencari uang karena beliau meninggalkan Istana Merdeka tidak membawa uang satu sen pun,” ungkap Sidarto.
Sidarto berhasil mendapatkan uang untuk Soekarno dari Tukimin, mantan pejabat rumah tangga Istana Merdeka. Tapi, ia kesulitan memberikannya pada Soekarno yang dijaga ketat di Wisma Yaso.
Baca Juga: Cucu Sebut Soekarno Dibunuh di Wisma Yasoo, Sejarawan: Beliau Tidak Dirawat Sebagaimana Mestinya
“Kalau saya bawa uang, saya digeledah. Jadi saya minta tolong Mbak Megawati, lalu uangnya ditaruh di kaleng biskuit di bawah roti. Uangnya enggak banyak, tapi cukup untuk pegangan Bung Karno,” kata Sidarto.
Uang itu, kata Sidarto, digunakan Soekarno untuk makan selain dari makanan rutin buatan koki yang sangat sederhana.
Sementara, pihak keluarga hanya bisa sesekali datang membawakan makanan dan menemui Soekarno
“Jadi, apa yang dimakan di Wisma Yaso itu adalah makanan yang lebih sederhana, jauh lebih sederhana,” ujar Sidarto.
Pemerintah saat itu kemudian menarik Sidarto dari tugas sebagai ajudan Soekarno karena ia beberapa kali menemui pengikut Sang Proklamator.
“Kadang-kadang saya bertemu pendukung beliau dan kalangan penguasa tidak berkenan. Jadi, saya ditarik pada Mei 1968. Tapi, kondisi beliau sudah memburuk,” beber Sidarto.
Setelah Sidarto tak lagi menjadi ajudan Soekarno, ia mendengar kabar tidak enak dari Profesor Mahar Mardjono, mantan rektor dan guru besar Neurologi Universitas Indonesia dan dr Kartono Mohamad, mantan Ketua Umum PB IDI.
Berdasarkan keterangan dari keduanya, Sidarto blak-blakan menyebut Soekarno mengalami pembiaran saat sakit di Wisma Yaso.
”Saya harus katakan bahwa ini pembiaran. Soekarno tidak dirawat dengan layak. Jadi, kondisinya memburuk,” tegas Sidarto.
Baca Juga: Resmikan Patung Soekarno, Megawati: di Masa Orde Baru, Bung Karno Tidak Diceritakan secara Benar
Hal ini pun dikonfirmasi oleh Asvi. Asvi mendengar kesaksian langsung dari Kartono Mohamad bahwa Soekarno tidak mendapat obat selayaknya.
“Profesor Mahar tentu tahu apa saja penyakit Bung Karno dan membuat resep yang bisa memang dimakan Bung Karno. Tetapi, resep itu kan tidak dibeli atau ditebus dan dibiarkan saja,” ungkap Asvi.
Asvi juga membandingkan perlakuan pada Soekarno dengan Jenderal Sudirman. Menurut Asvi, pemerintah pada 1950 berusaha mencarikan obat untuk Jenderal Sudirman yang sakit TBC.
“Sengaja pemerintah berusaha mendapatkan obat itu. Tapi, sayangnya itu sudah terlambat dan Jenderal Sudirman meninggal pada 1950. Tapi, pemerintah sudah berupaya sungguh pun itu di daerah yang dikuasai Belanda,” ujar Asvi.
“Tapi, itu tidak terjadi pada Bung Karno, ketika resep obat yang dibuatkan Profesor Mahar tidak dibelikan. Ada gejala gagal ginjal pada Bung Karno, kalau kita lihat fotonya. Tapi, kenapa juga tidak diupayakan mesin cuci darah atau semacam itu,” lanjutnya.
Penulis : Ahmad Zuhad Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV