> >

Korupsi di Indonesia Tinggi karena Ketaatan Hukum Bukan Berasal dari Hati Nurani

Hukum | 4 Oktober 2021, 16:59 WIB
Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Hiariej (Sumber: Ist/Humas Kemenkumham)

JAKARTA, KOMPAS.TV – Ketaatan terhadap hukum yang bukan berasal dari hati nurani menjadi alasan masih tingginya kasus korupsi di Indonesia dan sulit untuk diperangi.

Penjelasan itu disampaikan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Hiariej dalam Lokakarya Pembangunan ZI Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) Persiapan Desk Evaluasi Tim Penilai Nasional, Senin (4/10/2021).

Eddy menuturkan, kesadaran masyarakat Indonesia terhadap hukum sangat baik, tetapi sifatnya masih heteronom.

Heteronom adalah ketaatan yang timbul karena adanya dorongan dari luar yaitu adanya sebuah aturan yang memerintah atau melarang.

“Kita itu mau mentaati aturan, kita itu patuh terhadap aturan, karena ada suatu dorongan dari luar, bukan dari hati nurani,” ujarnya dalam kegiatan yang dilaksanakan di Graha Pengayoman Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) tersebut, seperti tertulis dalam keterangan resmi Kemenkumham.

Dia menegaskan, penyebab orang Indonesia tidak korupsi bukan karena kesadaran internal diri sendiri, tetapi karena adanya hukum yang melarang untuk korupsi.

Baca Juga: Enam Hari SKD Kemenkumham Sulsel, 5.924 Peserta Yang Sudah Ikut tes

Jika hukum tentang korupsi itu dicabut, dia menyebut, korupsi akan kembali dilakukan.

Hal itu sangat berbeda dengan masyarakat di Jepang. Di Negeri Matahari Terbit itu, ketaatan hukum masyarakat merupakan bagian dari dorongan nurani sendiri atau bersifat otonom.

Dengan kata lain, jika aturan atau larangan melakukan korupsi dicabut, mereka tetap tidak akan melakukan korupsi.

“Orang Jepang, seandainya aturan tentang korupsi dicabut, maka mereka tetap tidak akan melakukan tindakan korupsi,” ujarnya.

Untuk memunculkan kesadaran otonom, kata dia, diperlukan integritas masyarakat yang tinggi. Integritas juga menjadi kunci utama memerangi korupsi.

“Ketika berbicara mengenai integritas, berarti kita berbicara mengenai sumber daya manusia. Mengapa integritas ini menjadi amat sangat penting? Karena dengan integritas ini akan melahirkan kesadaran hukum yang bersifat otonom, bukan heteronom,” tambah Guru Besar Hukum UGM ini.

Hal lain yang tak kalah penting dalam upaya memerangi korupsi adalah transparansi dan akuntabilitas. Ketiga kata kunci itu, kata dia, mutlak dalam pemberantasan korupsi di seluruh kementerian dan lembaga.

Baca Juga: Hari Dharma Karyadhika, Momentum Kemenkumham Tingkatkan Pelayanan Publik

“Tiga kata kunci ini, integritas, transparansi dan akuntabilitas adalah keniscayaan bagi kementerian maupun lembaga jika hendak membangun zona integritas dalam rangka Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM),” katanya.

Lokakarya Pembangunan ZI Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) adalah bagian dari rangkaian peringatan Hari Dharma Karya Dhika Kemenkumham tahun 2021.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kemenkumham Andap Budhi Revianto mengatakan bahwa tujuan pelaksanaan kegiatan lokakarya ini guna membangun komitmen yang sama dalam mengawal pelaksanaan reformasi birokrasi dalam mewujudkan zona integritas (ZI) di lingkungan Kemenkumham.

Kegiatan ini sekaligus untuk menyiapkan 477 satuan kerja yang telah diusulkan untuk mengikuti desk evaluasi tim penilai nasional, yang dikoordinasikan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Kompas TV


TERBARU