KPK Tetapkan Tersangka dan Tahan Azis Syamsuddin
Hukum | 25 September 2021, 00:45 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Azis Syamsuddin (AZ) sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi terkait kasus yang tengah ditangani KPK di Lampung Tengah.
Keterangan itu disampaikan oleh Ketua KPK Firli Bahuri pada Sabtu (25/9/2021) dini hari.
“Saudara AZ, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Periode 2019-2024 (ditetapkan) sebagai tersangka terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi pemberian hadiah atau janji dalam penanganan perkara yang ditangani KPK di Kabupaten Lampung Tengah,” kata Firli Bahuri.
Sebelumnya, Azis Syamsuddin dijadwalkan menjalani pemeriksaan di KPK pada Jumat (24/9/2021). Namun hingga sore hari, Azis Syamsuddin tidak muncul dengan alasan masih menjalani isolasi mandiri setelah berinteraksi dengan orang positif Covid-19.
Alasan tersebut tidak kemudian membuat KPK percaya. Dipimpin Direktur Penyidikan KPK, tim penyidik bergerak ke kediaman Azis Syamsuddin untuk mengonfirmasi kesehatan politisi partai Golkar tersebut.
Hasil dari tes swab yang dilakukan, Azis Syamsuddin dinyatakan non-reaktif Covid-19. Dengan hasil tersebut, KPK kemudian membawa Azis Syamsuddin ke Gedung KPK untuk selanjutnya diperiksa terkait dugaan suap terhadap eks penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju.
Baca Juga: MKD DPR soal Penangkapan Azis Syamsuddin: Harusnya KPK Ungkap Statusnya Apa
Sebagai informasi, dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Senin (13/9/2021) diungkap Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Azis Syamsuddin dan rekan di partainya Aliza Gunado disebut memberi suap Rp3.099.887.000 dan 36 ribu dolar AS (sekitar Rp513 juta) ke penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju.
Uang sekitar Rp3,613 miliar diberikan dalam tujuan untuk mengurus kasus di Lampung Tengah.
Keterangannya tersebut diungkap jaksa penuntut umum (JPU) KPK Lie Putra Setiawan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (13/9/2021).
“Bahwa untuk mengurus kasus yang melibatkan Azis Syamsuddin dan Aliza Gunado di KPK, terdakwa Stepanus Robin Pattuju dan Maskur Husain telah menerima uang dengan jumlah keseluruhan sekitar Rp3.099.887.000 dan 36 ribu dolar AS (sekitar Rp513 juta),” kata Lie Putra Setiawan.
Dalam surat dakwaan yang dibacakan Lie, sekitar Agustus 2020, Robin dimintai tolong Azis Syamsuddin berdiskusi dengan Maskur Husain. Diskusi tersebut dilakukan untuk meminta kesanggupan Robin mengurus kasus yang melibatkan Azis Syamsuddin dan Aliza Gunado di Lampung Tengah.
Singkat cerita, Robin dan Maskur Husain bersepakat mengurus kasus asal diberi imbalan uang Rp4 miliar dari Azis Syamsuddin dan Aliza Gunado dengan uang muka sejumlah Rp300 juta.
Permintaan ini disetujui oleh Azis Syamsuddin dengan mengirimkan uang muka Rp100 juta ke Robin dan Maskur Husain Rp200 juta melalui transfer rekeningnya pada 3 dan 5 Agustus 2020.
Selain itu, pada 5 Agustus 2020, Robin juga menerima tunai sejumlah 100 ribu dolar AS dari Azis Syamsuddin di rumah dinas wakil pimpinan DPR tersebut.
“Di mana terdakwa datang ke rumah dinas diantar oleh Agus Susanto. Uang tersebut sempat terdakwa tunjukkan kepada Agus Susanto saat ia sudah kembali ke mobil dan menyampaikan Azis Syamsuddin meminta bantuan terdakwa, yang nantinya Agus Susanto pahami itu terkait kasus Azis Syamsuddin di KPK,” tambah jaksa.
Kemudian, Robin membagi uang tersebut kepada Maskur Husain sejumlah 36 ribu dolar AS di depan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tak hanya itu, Robin juga menukarkan sisanya sebanyak 64 ribu dolar AS di "money changer" dengan menggunakan identitas Agus Susanto sehingga memperoleh uang rupiah sejumlah Rp936 juta.
Setelah itu, uang tersebut diberikan kepada Maskur Husain Rp300 juta di Rumah Makan Borero, Keramat Sentiong.
“Selanjutnya mulai akhir Agustus 2020 sampai Maret 2021, terdakwa beberapa kali menerima sejumlah uang dari Azis Syamsuddin dan Aliza Gunado dengan jumlah keseluruhan 171.900 dolar Singapura,” ucap Jaksa Lie.
Uang dalam bentuk dollar ini kemudian ditukarkan kembali oleh Robin ke Money Changer dengan menggunakan identitas Agus Susanto dan Rizky Cinde Awaliyah. Sehingga diperoleh uang senilai Rp1.863.887.000.
Lalu, uang diberikan ke Maskur Husain pada awal September 2020 di Rumah Makan Borero sejumlah Rp1 miliar dan pada September 2020 di Rumah Makan Borero sejumlah Rp800 juta. Dengan begitu, total uang yang diterima Robin dan Masku adalah sekitar Rp3.099.887.000 dan 36 ribu dolar AS.
“Kemudian terdakwa dan Maskur Husain bagi, dimana terdakwa memperoleh Rp799.887.000, sedangkan Maskur Husain memperoleh Rp2,3 miliar dan 36 ribu dolar AS,” ungkap jaksa.
Dalam perkara ini, Robin dan Maskur Husain didakwa menerima seluruhnya Rp11,025 miliar dan 36 ribu dolar AS (sekitar Rp513 juta) sehingga totalnya sebesar Rp11,5 miliar terkait pengurusan lima perkara di KPK.
Yaitu dari M Syahrial sejumlah Rp1,695 miliar, Azis Syamsudin dan Aliza Gunado sejumlah Rp3.099.887.000 dan 36 ribu dolar AS, Ajay Muhammad Priatna sejumlah Rp507,39 juta, Usman Effendi sejumlah Rp525 juta dan Rita Widyasari sejumlah RpRp5.197.800.000.
Baca Juga: Ternyata Nonreaktif Covid-19, Penyidik Bawa Azis Syamsuddin ke KPK
Sebagai informasi, M Syahrial adalah Wali Kota Tanjungbalai nonaktif; Azis Syamsuddin adalah Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar; Aliza Gunado adalah kader Golkar yang pernah menjabat sebagai mantan Wakil Ketua Umum PP Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG).
Kemudian Ajay Muhammad Priatna adalah Wali Kota Cimahi non-aktif; Usman Effendi adalah Direktur PT Tenjo Jaya yang juga narapidana kasus korupsi hak penggunaan lahan di Kecamatan Tenjojaya, Sukabumi, Jawa Barat; dan Rita Wisyasari adalah mantan Bupati Kutai Kartanegara.
Atas perbuatannya, Robin dan Maskur didakwa berdasarkan pasal 12 huruf a atau pasal 11 jo pasal 18 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo padal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 65 ayat 1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Penulis : Ninuk Cucu Suwanti Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV