> >

Dari Black Death hingga AIDS, 5 Penyakit Bermula dari Pandemi jadi Endemi, Akankah juga Covid-19?

Kesehatan | 25 Agustus 2021, 04:50 WIB
Barak yang diperuntukkan penderita flu Spanyol di Camp Funston, Kansas, 1918. (Sumber: Otis Historical Archives, National Museum of Health and Medicine)

SOLO, KOMPAS.TV- Sudah hampir dua tahun lebih dunia dilanda wabah Covid-19, pun halnya di Indonesia yang sudah berlangsung lebih dari satu setengah tahun lamanya. 

Sehingga tak mengherankan, karena masih belum mereda bahkan hilang, Covid-19 pun kini menjadi pandemi. 

Namun, dalam sejarahnya, ternyata ada sejumlah penyakit yang awalnya bermula dari pandemi namun kini sudah ditetapkan sebagai endemi. 

Akankah Covid-19 juga berlaku hal itu? 

Baca Juga: LaporCovid-19: Penyuntikan Booster untuk Non-nakes adalah Keserakahan dan Contoh Buruk

Sebelumnya, melansir Kompas TV, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan kemungkinan pandemi Covid-19 akan berubah menjadi endemi pada 2022.

Pandemi dan endemi dibedakan berdasarkan seberapa luar tingkat penyebaran penyakitnya.

Pandemi terjadi ketika peningkatan infeksi mendadak dari suatu penyakit, yang telah menyebar di beberapa negara atau benua, serta menjangkiti banyak orang.

Sementara, endemi adalah kehadiran konstan atau prevalensi suatu penyakit atau infeksi yang biasa terjadi dalam suatu wilayah geografis.

Beberapa pandemi akhirnya bisa tertangani, tetapi tetap bertahan di sebagian wilayah. Inilah mengapa pandemi bisa berubah menjadi penyakit endemik.

Melansir dari berbagai sumber, ini 5 penyakit yang dahulu berawal dari pandemi namun kini menjadi endemi:

Baca Juga: Pengumuman Sri Mulyani soal Vaksin Covid-19 Berbayar saat Anggaran Kesehatan Bertambah Tahun Depan

1.Black Death atau Pes

Ilustrasi black death atau wabah pes yang terjadi pada 1918 silam (Sumber: Kompas.com)

Tahun 1346-1353, muncul penyakit Black Death atau wabah pes. 

Penyakit ini merupakan pandemi yang mengakibatkan kematian sekitar 50 juta orang di seluruh dunia pada abad ke-14. 

Sejumlah ilmuwan, wabah itu disebabkan bakteri yang disebut Yersinia pestis. Setidaknya selama 4 tahun wabah pes jadi pandemi. 

Dalam perjalanannya seperti melansir laman resmi Badan Kesehatan Dunia (WHO), 13 Oktober 2017, wabah yang menyebabkan Black Death mudah diobati dengan antibiotik dan tindakan pencegahan standar untuk mencegah infeksi.

Wabah ini disebabkan oleh gigitan kutu yang terinfeksi. 

Basil pes, Yersinia pestis, masuk melalui gigitan dan menjalar melalui sistem limfatik ke kelenjar getah bening terdekat untuk mereplikasi dirinya sendiri.

Kelenjar getah bening kemudian meradang, tegang, nyeri, dan disebut 'bubo'. 

Itulah mengapa penyakit ini juga disebut "Bubonic".

Pada stadium lanjut infeksi, kelenjar getah bening yang meradang dapat berubah menjadi luka terbuka berisi nanah.

Penularan penyakit pes dari manusia ke manusia jarang terjadi. Wabah pes dapat berkembang dan menyebar ke paru-paru, yang bisa mengakibatkan pneumonia.

Setelah bisa tertangani, Black Death kemudian menjadi epidemi di Afrika, Asia, dan Amerika Selatan.

Baca Juga: Wabah Meluas, China Perintahkan Tes Covid-19 Massal di Wuhan dan Kota-kota Lain

2. Flu Spanyol

Petugas medis menggunakan masker saat wabah flu spanyol di awal abad 19 (Sumber: shutterstock via kompas.com)

Wabah berikutnya Flu Spanyol yang terjadi pada 1918-1920.

Flu Spanyol atau dikenal juga influenza seperti dikutip dari laman Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC), pandemi flu Spanyol ini dimulai pada tahun 1918, segera setelah Perang Dunia 1. 

Dalam kurun waktu dua tahun, penyakit ini mengakibatkan lebih dari 50 juta kematian.

Penyebabnya adalah virus H1N1 dengan gen yang berasal dari unggas.

Virus ini pertama kali terdeteksi di AS pada seorang personel militer musim semi tahun 1918.

Pada pertengahan tahun 2009, H1N1 sempat kembali merebak. WHO pun kembali menetapkan penyebaran virus ini sebagai pandemi.

Setelah mereda, pada 10 Agustus 2010, WHO mengumumkan berakhirnya pandemi influenza H1N1.

Baca Juga: Awas Infodemi Saat Wabah | Aiman (5)

3. Flu Asia

Para siswi di Jepang menggunakan masker dalam perjalanan ke sekolah pada tahun 1920. (Sumber: BBC Indonesia/Getty Image)

Pada Februari 1957, virus influenza A (H2N2) terdeteksi di Asia Timur dan segera memicu pandemi yang kemudian disebut Flu Asia.

Virus H2N2 ini berasal dari virus flu burung A. 

Kasus pertamanya dilaporkan di Singapura pada Februari 1957, Hong Kong pada April 1957, dan di kota-kota pesisir di Amerika Serikat pada musim panas 1957.

Pandemi Flu Asia mengakibatkan sekitar 1,1 juta orang di seluruh dunia meninggal dunia.

Pada 1961, terjadi peningkatan infeksi di Afrika Selatan yang kemungkinan disebabkan oleh burung liar sebagai reservoir virus influenza A.

Untuk menanganinya, ilmuwan akhirnya mencoba beberapa pengobatan.

Pada 1966, FDA melisensikan amantadine, obat antivirus baru sebagai profilaksis (obat pencegahan) terhadap influenza A.

Pada 1994, FDA menyetujui penggunaan Rimantadine yang berasal dari amantadine untuk mengobati influenza A.

Baca Juga: Kasus Covid-19 Masih Fluktuatif, Menlu Imbau Masyarakat Tetap Waspada

Flu Hong Kong

Laman Britannica mencatat, terjadi pandemi flu Hong Kong terdeteksi tahun 1968, di China pada Juli 1968.

Pandemi ini disebabkan oleh virus influenza A (H3N2), dan merupakan pandemi flu ketiga yang terjadi pada abad ke-20.

Infeksi virus H2N2 menewaskan satu juta orang di seluruh dunia dan menjadi pandemi flu pada 1968.

Virus ini diyakini masih berhubungan dengan pandemi Flu Asia tahun 1957, yang mengalami proses yang disebut 'pergeseran antigenik'. 

Proses tersebut merujuk kepada perubahan kecil pada gen virus flu yang dapat menyebabkan perubahan pada protein permukaan virus, HA (hemagglutinin) dan NA (neuraminidase), yang memicu respons imun tubuh.

Baca Juga: Jadi Pusat Wabah Corona di AS, Florida Catatkan Rekor Kasus Harian Tertinggi

4. Kolera 

Kolera adalah penyakit yang ditularkan melalui air yang terkontaminasi dan lazim terjadi di wilayah pesisir di dunia. (Sumber: Manpreet Romana / Getty Images via BBC Indonesia)

Kolera merebak secara global pada 1817.

Melansir Britannica, pada tahun itu, wabah mematikan terjadi di Jessore, India, kemudian menyebar ke sebagian besar India, Burma (Myanmar), dan Ceylon (Sri Lanka).

Pada 1820, penyakit ini juga telah dilaporkan di Siam (Thailand), di Indonesia (di mana lebih dari 100.000 orang di Pulau Jawa meninggal), dan Filipina.

Virus menyebar ke Basra, seluruh Turki, dan mencapai ambang Eropa. Penyakit ini juga menyebar di sepanjang rute perdagangan dari Arab ke pantai timur Afrika dan Mediterania.

Selama beberapa tahun berikutnya, kolera menghilang dari sebagian besar dunia kecuali 'pangkalannya' di sekitar Teluk Benggala.

WHO mencatat, kolera adalah infeksi diare akut yang disebabkan oleh konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi bakteri Vibrio cholerae.

Kolera masih menjadi ancaman global bagi kesehatan masyarakat akibat indikator ketidakadilan dan kurangnya pembangunan sosial.

Para peneliti memperkirakan, setiap tahun ada sekitar 1,3 hingga 4,0 juta kasus, dan 21.000 hingga 143.000 kematian di seluruh dunia karena kolera.

Meski demikian, kini kolera ditetapkan sebagai epidemi.

Baca Juga: Wabah Kolera Tewaskan 325 Orang di Nigeria pada Paruh Pertama 2021

5. HIV/AIDS

lustrasi infeksi HIV/AIDS (Sumber: Shutterstock via kompas.com)

Pada awal 1980-an, sebelum HIV diidentifikasi sebagai penyebab AIDS, infeksi diperkirakan hanya menyerang kelompok tertentu.

Pada November 1983, WHO mengadakan pertemuan pertama untuk menilai situasi AIDS global dan memprakarsai pengawasan internasional.

Saat itulah komunitas kesehatan global memahami bahwa HIV juga dapat menyebar di antara orang-orang heteroseksual, melalui transfusi darah, dan bahwa ibu yang terinfeksi dapat menularkan HIV kepada bayinya.

WHO mencatat, lebih dari 70 juta orang telah tertular infeksi HIV, dan sekitar 35 juta orang meninggal dunia.

Sementara, sekitar 37 juta orang di seluruh dunia hidup dengan HIV, 22 juta di antaranya sedang dalam pengobatan.

Melalui konferensi pers WHO, Rabu (24/2/2021), Dr. Ryan menyebut HIV sebagai salah satu jenis virus endemik.

Selama beberapa dekade, belum diketahui obat untuk penyakit ini. 

Akan tetapi, pengobatan yang dikembangkan pada 1990-an hingga saat ini memungkinkan orang dengan penyakit ini untuk menjalani hidup normal melalui perawatan teratur. 

 

Penulis : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV


TERBARU