2 Partai Setuju, 6 Menolak, PDIP Galau, Bagaimana Nasib Kelanjutan Amandemen UUD 1945?
Politik | 19 Agustus 2021, 09:06 WIBJAKARTA, KOMPAS TV - Isu amandemen Undang-undang 1945 kembali menjadi perbincangan hangat di publik setelah Ketua MPR Bambang Soesatyo menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Bogor, Jumat (13/8/2021) lalu.
Salah satu yang dikhawatirkan adalah nantinya bakal membahas soal penambahan masa jabatan Presiden.
Saat itu, pria yang karib disapa Bamsoet itu mengaku bahwa Presiden Jokowi setuju ihwal rencana MPR melakukan amandemen terbatas UUD 1945 terkait untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dan tidak melebar ke persoalan lain.
Rencana tersebut mendapatkan dukungan dari dua partai politik yang memiliki kader di MPR. Keduanya adalah PPP dan PKB.
Baca Juga: Singgung Amandemen, Bamsoet Sebut UUD 1945 Bukan Kitab Suci dan Butuh Penyempurnaan
Wakil Ketua Umum PPP Arsul Sani menyatakan sepakat dengan amandemen UUD RI Tahun 1945 untuk menghadirkan PPHN agar siapapun yang menjadi Presiden memiliki landasan filosofis dan ideologis yang lebih komprehensif, tidak sekadar menafsirkan Pancasila dan UUD RI Tahun 1945.
"Ini untuk menjawab kekhawatiran bahwa PPHN akan meniadakan keleluasaan Presiden untuk mengartikulasikan visi dan misinya dalam menjalankan pemerintahan seperti yang dikhawatirkan sejumlah pihak," kata Arsul kepada KOMPAS TV, Selasa (17/8/2021).
Menurut dia, bila nanti ada yang mengusulkan untuk memperluas pembahasan amandemen, seperti membahas masa jabatan presiden, dipastikan akan ditolak oleh seluruh anggota MPR.
"Jadi meski bisa jadi dilempar sebagai wacana di tengah publik, namun sulit untuk menjadi agenda amandemen pada akhirnya," ujarnya.
Baca Juga: Nasdem: Amandemen UUD 1945 akan Mengganggu Penanganan Covid-19
Hal Senada dikatakan Ketua DPP PKB Daniel Johan, pihaknya mendukung rencana amandemen UUD 1945 yang diusulkan oleh MPR.
Sebab, PPHN diperlukan untuk mengawal jalannya pemerintahan agar Indonesia bisa menjadi negara maju.
"PPHN memang dianggap perlu tapi sangat penting untuk mengawal substansinya nanti agar benar-benar bisa membawa Indonesia masa depan yang menjanjikan," kata Daniel kepada KOMPAS TV, Rabu (18/8/2021).
6 Partai Menolak
Apabila rencana itu digulirkan saat ini, nampaknya akan menemui jalan terjal karena ada enam partai yang tak menyetujui amandemen UUD 1945. Alasannya karena kini masih masa pandemi Covid-19 dan takutnya malah pembahasan itu melebar ke pembahasan pasal masa jabatan presiden.
Penolakan itu datang dari Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Benny K Harman menilai saat ini bukan merupakan saat yang tepat untuk melakukan pembahasan UUD 1945. Sebab, kini masyarakat dan pemerintah sedang fokus dalam penanganan pandemi Covid-19.
"Sekarang bukan saat yang tepat membahas amandemen UUD, sekarang ini saatnya kita semua fokus mengatasi Covid-19. Jika ada kelompok atau golongan ingin mengubah UUD 1945 sebaiknya pada saat tenang setelah Covid-19 berlalu jangan pada saat seperti sekarang," kata Benny.
Selain itu, Anggota DPR RI Fraksi Partai Gerindra Kamrussamad juga tak setuju dengan rencana agenda amandemen UUD 1945. Sebab, itu akan mengalihkan perhatian pemerintah dan pejabat publik lainnya dari penanganan Covid-19.
"Karena rakyat lebih membutuhkan kehadiran negara dalam mengatasi Covid-19 dan dampaknya," kata Kamrussamad.
Baca Juga: PKB Tak Sudi Amandemen UUD 1945 Jika Harus Membahas Penambahan Masa Jabatan Presiden
Selain itu, Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menilai pembahasan amandemen UUD 1945 itu nantinya dikhawatirkan bakal melebar ke arah perubahan masa jabatan presiden. Hal ini mengingat jumlah anggota MPR partai koalisi dan oposisi jumlahnya tak seimbang.
"Plus perimbangan koalisi dan oposisi belum optimal malah berbahaya," ujarnya.
Selanjutnya penolakan itu dilontarkan oleh Wakil Ketua Umum Partai NasDem Ahmad Ali tak setuju dengan usulan dari Ketua MPR Bambang Soesatyo yang ingin melakukan amandemen UUD 1945. Sebab itu nantinya akan mengganggu penanganan Covid-19 di Indonesia.
"Kita abaikan yang lain-lain dulu, karena tidak menutup kemungkinan akan terjadi polarisasi di tengah masyarakat. Ketika itu terjadi, saya pastikan akan mengganggu penanganganan Covid-19 ini," kata Ali.
Kemudian, Ketua Fraksi PAN DPR RI Saleh Partaonan Daulay meminta agar amandemen UUD 1945 tak digelar secara buru-buru tanpa adanya kajian yang matang. Ia berharap agar rencana tersebut ditunda dengan meminta berbagai pertimbangan dari seluruh elemen masyarakat terlebih dahulu.
"Kalau belum siap, sebaiknya ditahan dulu. Lakukan dulu kajian lebih komprehensif. Pengkajian itu sendiri dapat dianggap sebagai bagian dari proses amandemen," kata Saleh.
Bahkan, kolega Bamsoet dari Partai Golkar pun menolak usulan amandemen UUD 1945. Hal itu dikatakan oleh Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily.
Ia menilai tak ada kebutuhan yang mendesak, sehingga harus mengamandemen regulasi tersebut.
"Tidak ada kebutuhan yang mendesak sehingga kita harus melakukan amendemen UUD 1945. Lebih baik kita bekerja dengan sungguh-sungguh menuntaskan berbagai persoalan yang dihadapi bangsa saat ini," kata Ace.
Wakil Ketua Komisi VIII itu menyebut, sebaiknya seluruh pejabat publik kini fokus membantu pemerintah untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi.
"Energi bangsa kita harus diarahkan pada upaya menghentikan penularan Covid-19 dan memulihkan kembali ekonomi kita sebagai dampak dari pandemi ini," ujarnya.
PDIP Galau
Sementara itu, Politikus PDIP Hendrawan Supratikno menyatakan pihaknya belum bisa memutuskan apakah akan menyetujui atau tidak usulan amandemen UUD 1945 terbatas tersebut.
"Nanti kita lihat. Yang jelas badan pengkajian terus bekerja mempersiapkan kajian-kajian yang bermutu tentang substansi anandemen tersebut," ujarnya.
Ia menyebut, usulan amandemen 1945 itu sebenarnya merupakan amanat dari anggota MPR periode 2014 hingga 2019 lalu.
"Masih belum ada usulan resmi yang masuk. Soal amandemen terbatas, itu merupakan rekomendasi MPR pada 2014 dan 2019. Sampai hari ini Badan Pengkajian MPR masih terus mengkaji substansi amandemen terbatas tersebut," kata dia.
Menanggapi beragam komentar dari para politikus, Bamsoet menyebut bahwa UUD 1945 bukan sebuah kitab suci, sehingga butuh penyempurnaan.
"UUD 1945 memang bukanlah kitab suci, karenanya tak boleh dianggap tabu jika ada kehendak melakukan penyempurnaan. Secara alamiah konstitusi akan terus berkembang sesuai dinamika masyarakat," kata Bamsoet di Jakarta.
Menurut dia, masa sebelum reformasi, UUD 1945 itu sangat dimuliakan secara berlebihan. Hal itu terlihat dari tekad MPR untuk melaksanakan secara murni, konsekuen dan tidak berkehendak melakukan perubahan.
"Kalaupun suatu hari melakukan perubahan harus melalui referendum pada saat itu. Demikian TAP MPR Nomor 4/MPR 1983 tentang Referendum," ujarnya.
Baca Juga: Masih Tahap Pengkajian, Wakil Ketua MPR Sebut Belum Ada Keputusan Soal Amandemen UUD
Melihat dari pernyataan para politikus tersebut kemungkinan besar rencana amandemen UUD 1945 terbatas nampaknya memerlukan sebuah negosiasi yang alot. Dalam dunia politik memang banyak hal penuh ketidakpastian.
Oleh sebab itu, sebagai masyarakat diharapkan untuk selalu mengawasi jalannya rencana tersebut agar para wakil rakyat bisa memenuhi janjinya bila memang pembahasan amandemen UUD 1945 tak akan melebar ke pembahasan pasal masa jabatan presiden.
Penulis : Fadel Prayoga Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV