> >

Kisah Para Pemohon Legalisasi Ganja untuk Kesehatan

Hukum | 12 Agustus 2021, 08:45 WIB
Dalam file foto 13 Desember 2017 ini, James MacWilliams memangkas tanaman ganja yang dia tanam di dalam ruangan di Portland, Maine. (Sumber: AP Photo/Robert F. Bukaty, File)


JAKARTA, KOMPAS.TV- Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini sedang menyidangkan perkara Nomor 106/PUU-XVIII/2020, yaitu  menguji secara materiil Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Narkotika, dilihat dari laman resmi MK, Rabu (11/8/2021). 

Perkara ini ini dimohonkan oleh Dwi Pertiwi (Pemohon I); Santi Warastuti (Pemohon II); Nafiah Murhayanti (Pemohon III); Perkumpulan Rumah Cemara (Pemohon IV), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) (Pemohon V); dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) (Pemohon VI). 


Para Pemohon menguji secara materiil Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) yang melarang penggunaan ganja untuk pelayanan kesehatan. Hal ini dianggap merugikan hak konstitusional Pemohon karena menghalangi Pemohon untuk mendapatkan pengobatan yang dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan kualitas hidup anak Pemohon.

Baca Juga: Pemerintah dan DPR akan Revisi UU Narkotika, Terkait Legalisasi Ganja untuk Kepentingan Kesehatan


Salah seorang pemohon,  Dwi Pertiwi adalah  seorang ibu yang pernah memberikan terapi minyak ganja (cannabis oil) kepada anaknya yang menderita celebral palsy semasa terapi di Victoria, Australia, pada 2016 silam. 

Namun, sekembalinya ke Indonesia, Pemohon menghentikan terapi tersebut karena adanya sanksi pidana sebagaimana diatur dalam UU Narkotika. 

Begitupula dengan dua orang ibu lainnya yang menjadi Pemohon perkara ini. Adanya larangan tersebut dianggap  menghalangi Pemohon untuk mendapatkan pengobatan yang dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan kualitas hidup anak Pemohon.

Sementara kedudukan hukum Perkumpulan Rumah Cemara, ICJR, dan LBHM merupakan organisasi nirlaba yang didirikan dengan tujuan agar masyarakat dapat terpenuhi akses terhadap pelayanan kesehatan. 

Menurut para Pemohon, penjelasan norma a quo telah mengakibatkan hilangnya hak para Pemohon untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Hak demikian sudah diadopsi dalam Pasal 4 huruf a UU Narkotika yang menyebutkan Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Baca Juga: Polisi Temukan Peredaran 1 Kilogram Ganja di Matraman saat Razia PPKM

Selanjutnya dalam Pasal 7 UU Narkotika disebutkan, narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga, berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf a juncto Pasal 7 UU Narkotika, narkotika dapat digunakan dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari hak atas pelayanan kesehatan yang dijamin dalam konstitusi.

Di samping itu, ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU Narkotika memberikan peluang dilakukannya penelitian terhadap narkotika Golongan I dengan ketentuan tertentu.

Dengan demikian, ketentuan penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika tersebut telah mengakibatkan hilangnya hak para Pemohon untuk mendapatkan manfaat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berupa hasil penelitian tentang manfaat kesehatan dari narkotika Golongan I.

Sementara Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Arianti Anaya mewakili Pemerintah menyampaikan bahwa larangan penggunaan minyak ganja ataupun ganja untuk tujuan medis belum dapat dilakukan di Indonesia. 

Selain karena sulitnya pengawasan penggunaan ganja jika dilihat dari letak geografis Indonesia, Arianti juga menyebut belum ada bukti manfaat klinis dari penggunaan ganja ataupun minyak ganja untuk pengobatan di Indonesia.

“Dengan demikian, kalangan medis tidak menggunakan ganja dan produk turunannya pada saat ini. Meskipun saat ini di Amerika salah satu kandungan, yaitu Kanabidiol dapat memberikan efek anti epilepsi dan sudah di-approve oleh FBI pada tanggal 28 Juni 2018 dengan nama epidiolex, tetapi di Indonesia terdapat drug of choice epilepsy, yaitu gabapentin, asam valproat, dan sebagainya," urai Arianti.

Ketua MK Anwar Usman mengumumkan bahwa sidang berikutnya akan digelar pada Senin, 30 Agustus 2021 pukul 11.00 WIB. Agenda persidangan berikutnya adalah mendengarkan keterangan dari tiga Ahli yang dihadirkan para Pemohon. 

Penulis : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU