Fadjroel Rachman: Kritik Boleh, tapi Ingat Budaya Kesopansantunan
Politik | 2 Agustus 2021, 13:26 WIBJAKARTA, KOMPAS TV - Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Fadjroel Rachman mengatakan, pihaknya tak melarang seluruh pihak untuk menghujani kritikan yang ditujukan kepada pemerintah. Namun, setiap praktik kebebasan kritik perlu melandaskan pada tatanan nilai sosial, saling menghormati, kesantunan, tata krama, toleransi dan kegotongroyongan.
"Presiden mengatakan bahwa negara kita negara demokrasi, jadi kritik itu boleh-boleh saja. Tapi juga ingat kita ini memiliki budaya tata krama, memiliki budaya kesopansantunan," kata Fadjroel seperti dikutip dari Antara, Senin (2/8/2021).
Ia menilai, kritik itu adalah jantung kemajuan demokrasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi serta masyarakat.
"Menanggapi berbagai pertanyaan media dan sejumlah pernyataan publik kami perlu menekankan kembali bahwa perjuangan reformasi 1998 adalah perjuangan untuk menegaskan bahwa kritik merupakan jantung kemajuan demokrasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi serta masyarakat," ujarnya.
Baca Juga: Fadjroel Rachman: Segala Aktivitas Kemahasiswaan Menjadi Tanggungjawab Pimpinan Universitas
Ia menyebut, bahwa bangsa Indonesia menempatkan kritik di jantung konstitusi UUD NRI Tahun 1945, khususnya pada Pasal 28, yang menyatakan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Namun, ia menekankan pelaksanaan hak konstitusional setiap warga negara Indonesia menurut UUD NRI Tahun 1945 harus memperhatikan Pasal 28J.
"Dalam Ppasal 28J disebutkan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis," kata dia.
Dalam tradisi dan nilai-nilai demokrasi, kata dia, kritik merupakan upaya menciptakan dialog setara dan komunikasi timbal balik di antara aktor-aktor dalam negara demokrasi, yaitu masyarakat sipil, aktor nonnegara, seperti media, ormas, lembaga kemahasiswaan, dan LSM, masyarakat politik, masyarakat ekonomi, pemerintah, dan penegak hukum.
"Cara kerja kritik adalah berusaha membentuk hubungan setara antar aktor berdasar komunikasi timbal balik atau komunikasi intersubjektif yang berimplikasi pada penemuan kebaikan bersama atau common objective. Praktik kritik yang mengikuti kaidah iptek dan demokrasi, tidak akan menggunakan kekerasan komunikasi seperti stigma, fitnah, hinaan, dan perundungan," katanya.
Menurut dia, kekerasan komunikasi akan menghalangi proses terbentuknya komunikasi timbal balik dan setara.
Sebaliknya, akan mendorong terbentuknya lingkaran kekerasan, yaitu kondisi yang ditandai oleh praktik yang hanya bertujuan menjatuhkan dan menghancurkan satu sama lain.
Baca Juga: Fadjroel Rachman Tegaskan Presiden Patuh Aturan Masa Jabatan Dua Periode
Selama ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memberikan keteladanan dalam upaya membangun komunikasi timbal balik dalam negara demokrasi Indonesia dengan narasi kebebasan dalam tatanan nilai sosial. Oleh karena itu, Presiden menjauhi praktik stigma, perundungan, fitnah, dan antitoleransi.
"Aktor-aktor negara demokrasi yang mempraktikkan kebebasan kritik dalam narasi nilai sosial keindonesiaan akan menciptakan komunikasi timbal balik, yaitu kondisi yang lebih memungkinkan lahirnya berbagai pemecahan masalah kolektif bangsa untuk menyejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa," ujarnya.
Penulis : Fadel Prayoga Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV/Antara