Waspada! Varian Delta Plus Masuk Indonesia, Kenali Gejala dan Risikonya
Kesehatan | 31 Juli 2021, 10:09 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Virus corona varian Delta Plus (B.1.617.2.1 atau AY.1) dilaporkan telah masuk di Indonesia.
Lembaga Biologi Molekuler Eijkman mengonfirmasi, turunan dari virus corona varian Delta yang memiliki tingkat penularan yang tinggi itu terdeteksi di Jambi dan Mamuju, Sulawesi Barat.
"Iya. Kami temukan varian Delta Plus di Jambi dan Mamuju," kata Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Prof Amin Subandrio, Rabu (28/7/2021).
Oleh sebab itu, sebagai upaya antisipasinya, mari kenali seperti apa virus corona varian Delta Plus beserta gejala dan risiko yang ditimbulkan pada orang yang terpapar.
Baca Juga: Covid-19 Varian Delta Plus Masuk RI, Satgas Jelaskan Skenario Antisipasi Penyebarannya
Varian Delta Plus
Dalam laporan National Geographic, Jumat (2/7/2021), para ilmuan menyebut virus corona varian Delat Plus tak begitu jauh berbeda dengan varian Delta.
Vaksin Covid-19 yang ada saat ini pun sejatinya terbilang cukup efektif untuk melawan varian Delta, tentu termasuk mutasi turunannya, tetapi hanya jika vaksinasi telah dilakukan sepenuhnya.
Varian Delta Plus memiliki mutasi protein lonjakan yang disebut K417N, yakni protein yang memungkinkannya menginfeksi sel-sel sehat.
Pada April lalu, kasus pertama varian Delta Plus ditemukan di India hingga dengan cepat menginfeksi sekitar 40 orang di negara bagian Maharashtra, Kerala dan Madhya Pradesh.
Kemudian, pada 16 Juni 2021, setidaknya ada 197 kasus varian Delta Plus yang secara global telah ditemukan di 11 negara.
Mulai dari Inggris (36 kasus), Kanada (1), India (8), Jepang (15), Nepal (3), Polandia (9), Portugal (22), Rusia (1), Swiss (18), Turki (1), dan Amerika Serikat (83).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) lantas mendesak masyarakat di seluruh dunia yang telah divaksinasi penuh untuk tetap memakai masker.
Baca Juga: Varian Delta dan Delta Plus Ditemukan di Provinsi Jambi, Satgas Covid-19 Imbau Masyarakat Waspada
Gejala Varian Delta Plus
Melansir MPNRC, Kamis (29/7/2021), sejumlah gejala umum yang ditimbulkan oleh varian Delta Plus adalah batuk kering, kelelahan, dan demam.
Semantara itu, gejala beratnya kurang lebih meliputi sesak napas dan sakit perut, yang tak jarang juga disertai dengan ruam kulit, perubahan warna jari kaki, sakit tenggorokan, anosmia, dan sakit kepala.
Hindustan Times juga melaporkan, Selasa (27/7/2021), ahli virologi India mengatakan bahwa varian Delta Plus memiliki beberapa gejala yang sama dengan varian Delta dan varian Beta
Lebih lengkapnya, berikut gejala yang sering muncul akibat infeksi virus corona varian Delta Plus.
- Batuk
- Diare
- Demam
- Sakit kepala
- Ruam kulit
- Perubahan warna jari tangan dan kaki
- Nyeri dada
- Sesak napas
Adapun gejala lain yang diidentifikasi oleh para ahli terkait varian Delta Plus adalah sakit perut, mual dan kehilangan nafsu makan.
Baca Juga: Virus Corona Varian Delta Hasilkan Mutasi Baru Bernama Varian Delta Plus, Apa Lagi Ini?
Risiko Varian Delta Plus
Varian Delta Plus telah ditetapkan sebagai varian of concern oleh WHO, sama seperti pendahulunya yakni varian Delta yang mudah menular dan kini mendominasi kasus di beberapa negara.
Penelitian lebih lanjut terhadap varian Delta Plus pun terus dilakukan, salah satunya oleh Indian SARS-CoV-2 Consortium on Genomics (INSACOG).
Berdasarkan temuan protein pada permukaan varian baru ini, berikut beberapa sifat atau risikonya.
- Lebih mudah menular
- Ikatan dengan sel di paru-paru lebih kuat
- Berpotensi menurunkan respons antibodi monoklonal
Seorang ahli virologi dari Louisiana State University Health Science Center, Dr. Jeremy Kamil menjelaskan siapa saja yang paling berisiko terpapar varian Delta Plus.
Seperti orang yang sudah pernah terinfeksi virus corona di awal pandemi, yang belum mendapat vaksin, maupun yang belum mendapat vaksin secara lengkap, dengan gejala yang hampir sama dengan varian Delta.
Namun, karena sifatnya yang ketiga, varian Delta Plus berisiko membuat perawatan dengan obat-obatan antibodi monoklonal seperti actemra dan kevzara menjadi tidak terlalu efektif.
Meski begitu, belum ada bukti bahwa varian ini membuat angka positif Covdi-19 meningkat tajam, lantaran sejauh ini jumlah kasus yang ditemukan relatif masih lebih sedikit.
Penulis : Aryo Sumbogo Editor : Fadhilah
Sumber : Kompas.com/National Geographic/MPNRC/Hindustan Times