> >

Firli Bahuri Beri Saran Soal Pelaksanaan Vaksin Berbayar, Singgung Risiko Tinggi dari Sisi Medis

Peristiwa | 15 Juli 2021, 13:02 WIB
Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK (Sumber: KOMPAS.com/Ardito Ramadhan D)

1. KPK memahami permasalahan implementasi vaksinasi saat ini sekaligus mendukung upaya percepatan vaksinasi.

2. Penjualan vaksin gotong royong kepada individu melalui Kimia Farma meskipun sudah dilengkapi dengan permenkes, menurut KPK berisiko tinggi dari sisi medis dan kontrol vaksin (reseller bisa muncul dan lain-lain), efektivitas rendah, dan jangkauan Kimia Farma terbatas.

Baca Juga: Banyak Yang Terpapar Covid, Etiskah Vaksin Berbayar? (3) - SATU MEJA

3. Perluasan penggunaan vaksin gotong royong kepada individu ini direkomendasikan, yakni hanya menggunakan Vaksin Gotong Royong tidak boleh menggunakan vaksin hibah, baik bilateral maupun skema COVAX, dibuka transparansi data alokasi dan penggunaan Vaksin Gotong Royong (by nameby address, dan badan usaha).

Selanjutnya, pelaksanaan hanya melalui lembaga/institusi yang menjangkau kabupaten/kota, misalnya rumah sakit swasta se-Indonesia atau Kantor Pelayanan Pajak karena mereka mempunyai database wajib pajak yang mampu secara ekonomis atau lembaga lain selain retail, seperti Kimia Farma, dan perbaikan logistik vaksin untuk mencegah vaksin mendekati kedaluwarsa dan distribusi lebih merata.

4. Sesuai dengan Perpres Nomor 99 Tahun 2020, Menkes diperintahkan untuk menentukan jumlah, jenis, harga vaksin, serta mekanisme vaksinasi.

5. Perlu dibangun sistem perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan monitoring pelaksanaan Vaksin Gotong Royong secara transparan, akuntabel, dan dipastikan tidak terjadi praktik kecurangan.

6. Data menjadi kata kunci sehingga Kemenkes harus menyiapkan data calon peserta vaksin gotong royong sebelum dilakukan vaksinasi.

Baca Juga: Maju Mundur Vaksin Berbayar (1) - SATU MEJA

Selain itu, Firli juga memberikan tiga catatan lainnya, yakni KPK tidak mendukung pola Vaksin Gotong Royong melalui Kimia Farma karena efektivitasnya rendah.

Sementara, tata kelolanya berisiko, lembaga antirasuah itu mendorong transparansi logistik dan distribusi vaksin yang lebih besar.

"Sebelum pelaksanaan vaksin mandiri, Kemenkes harus memiliki data peserta vaksin dengan berbasis data karyawan yang akuntabel dari badan usaha, swasta, instansi, dan lembaga organisasi pengusaha atau asosiasi," ujar Firli.

Baca Juga: Menkes Budi Blak-blakan Munculnya Kebijakan Vaksin Berbayar bagi Individu, Ini Penjelasannya

Penulis : Tito Dirhantoro Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV/Antara


TERBARU