Politis PDIP Nilai Pasal Ancaman Pidana Pengibar Bendera Kusam dalam RKUHP Mubazir
Hukum | 2 Juli 2021, 09:44 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Mantan anggota Komisi III DPR, Eva Kusuma Sundari menyarankan agar anggota pemerintah dan DPR mencabut pasal-pasal penodaan bendera negara dalam RUU KUHP.
Ia menganggap pasal tersebut mubazir dan bereliban karena sudah termuat dalam undang-undang khusus (lex specialis).
Pasal penodaan bendera yang dimaksud Eva tersebut tertuang dalam pasal 235 RKUHP.
Pasal itu menyebutkan bahwa pengibar bendera Merah Putih kusam, dapat dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II bagi setiap orang yang; (a) memakai bendera negara untuk reklame atau iklan komersial; (b) mengibarkan bendera negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam; (c) mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain atau memasang lencana atau benda apapun pada bendera negara; atau (d) memakai bendera negara untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, dan tutup barang yang dapat menurunkan kehormatan bendera negara.
Baca Juga: RKUHP Ancaman Pidana bagi Pengibar Bendera Merah Putih Kusam
Kata Eva, pasal 235 RKUHP itu sama dengan dengan pasal 63 ayat 2 Hukum Pidana (KUHP) yang menerapkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan. Dan ketentuan tersebut masih berlaku.
Untuk diketahui, dalam UU No. 24/2009 Pasal 24 menyatakan bahwa setiap orang dilarang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan bendera negara.
Ketentuan selanjutnya, bahwa setiap orang dilarang mengenakan bendera negara untuk iklan atau iklan komersial; mengibarkan bendera negara yang rusak, sobek, pudar, kusut, atau kusam.
UU No. 24/2009 itu juga melarang pencetakan, bordir, dan penulisan huruf, angka, gambar atau tanda-tanda lain dan pembubuhan lencana atau benda pada bendera negara. Larangan lainnya, penggunaan bendera negara untuk plafon, atap, kemasan, dan penutup barang yang dapat menurunkan bendera negara.
“Isi Pasal 24 KUHP sama dengan pasal 234 dan 235 KUHP. Bedanya hanya pada pemidanaan meskipun melakukan perbuatan yang sama,” kata Eva dilansir dari ANTARA, Jumat (2/7/2021).
Baca Juga: Belum Diketuk, Pemerintah dan DPR Masih Terbuka Terima Masukan Soal RKUHP
Eva yang pernah menjadi anggota DPR di bidang hukum, hak asasi manusia, dan keamanan itu mencontohkan mencontohkan satu kasus dalam hal penodaan bendera kebangsaan.
Kata dia, pelanggaran Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Pasal 24 huruf b, yaitu dengan sengaja menggunakan bendera negara untuk reklame atau iklan, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp100 juta.
Sedangkan, dalam RUU KUHP Pasal 235 hanya dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp10 juta. Padahal, kata dia, melakukan kejahatan yang sama.
"Hukuman yang berbeda dengan UU No. 24/2009 membingungkan hakim," terang Eva yang juga sebagai kader partai penguasa, PDI-Perjuangan.
Adapun perdebatan penghinaan bendera negara, Eva menyinggung bendera Merah Putih di wuwungan (balok di atas rumah). Ia mengatakan, membungkus usuk atau keris dengan bendera adalah praktik leluhur sebelum KUHP, bahkan sebelum republik.
"Kalau penghinaan terhadap bendera itu bermotif politik, ya, ditegaskan. Jadi anehnya KUHP melebihi undang-undang lex specialis," pungkas Eva.
Baca Juga: Komnas Perempuan Sebut Perbuatan Briptu Nikmal Sebagai Penyiksaan Seksual, Harus Diatur di RKUHP
Penulis : Hedi Basri Editor : Purwanto
Sumber : Kompas TV