Senator Papua Barat Minta Pemerintah Buat Definisi Jelas Soal Afiliasi Organisasi Teroris
Politik | 1 Mei 2021, 01:02 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Pemerintah diminta memberikan definisi khusus mengenai kelompok atau afiliasi dari organisasi teroris kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua.
Anggota DPD RI asal Papua Barat Filep Wamafma menilai pengertian khusus bagi kelompok atau pihak yang berafiliasi dengan KKB untuk menghindari bias definisi atau generalisasi terhadap orang atau kelompok orang di Papua yang memanfaatkan ruang demokrasi dan kebebasan berpendapat. Termasuk menyampaikan kritik terhadap Pemerintah.
Definisi yang jelas juga diperlukan agar penanggulangan KKB sebagai organisasi teroris yang dilakukan oleh aparat tidak secara brutal menggeneralisasikan semua masalah di Papua atau menggeneralisasikan semua orang di Papua.
Baca Juga: Densus 88 Antiteror Tunggu Instruksi Kapolri untuk Buru KKB
Jangan sampai masyarakat Papua yang memanfaatkan ruang demokrasi, kebebasan menyampaikan pendapat nantinya dicap sebagai teroris.
“Nah ini yang perlu didefinisikan secara khusus kelompok mana, afiliasi mana, organisasi mana yang disebut oleh pemerintah sebagai kelompok teroris yang berafiliasi dengan KKB atau TPN-OPM yang dimaksudkan oleh pemerintah,” ujar Filep Wamafma dalam keterangan tertulis, Jumat (30/4/2021).
Filep memandang pelabelan teroris yang masih luas tersebut dikhawatirkan menjadi ancaman bagi para pegiat demokrasi yang menyuarakan persoalan-persoalan krusial di Tanah Papua.
Bahkan tidak menutup kemungkinan seorang wakil daerah dan wakil rakyat di jajaran parlemen yang menyuarakan persoalan daerah dikategorikan sebagai tindakan teroris atau pihak yang berafiliasi dengan organisasi teroris.
Baca Juga: Gubernur Papua Minta Pemerintah Kaji Ulang Label Teroris KKB di Papua
“Sebagai wakil daerah kami khawatir juga ketika kita memberikan pandangan-pandangan terkait dengan persoalan diskriminasi, persoalan pelanggaran HAM, persoalan rasisme dan persoalan-persoalan krusial di Tanah Papua, jangan-jangan kita sebagai wakil daerah pun disebut sebagai teroris,” ujarnya.
Filep menambahkan pengertian terorisme yang termuat dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dapat dikaji beberapa hal terkait antara lain;
Pertama, pengertian tersebut mengandung makna dalam konteks terorisme, aspek politik, ideologi ataupun agama tidaklah semata-mata ditempatkan sebagai motif, tetapi sebagai tujuan.
Baca Juga: Menkopolhukam Mahfud Pastikan Penindakan Teroris KKB Tidak Menyasar Masyarakat Sipil
Menurutnya, hal itu harus dibedakan dari gerakan atau perjuangan pembebasan yang motifnya adalah politik.
“Perbedaan antara motif dan tujuan ini harus dibuktikan secara jelas. Bila memakai frasa ‘dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan’, maka penegak hukum akan kesulitan untuk membuktikan keseluruhan unsur motif tersebut,” ujarnya
Kedua, terkait kejelasan dan ketegasan, terdapat frasa 'yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal'.
Frasa ini menurut Filep, sangat kabur dan bias dan cenderung menimbulkan multitafsir, karena sesungguhnya akibat dari terorisme tidak dapat dipersempit hanya pada perbuatan yang mengakibatkan korban dalam jumlah banyak.
Baca Juga: Khawatir Perubahan Status Teroris untuk KKB, Komnas HAM Ajak Selesaikan Konflik dengan Dialog Damai
Belum lagi bila kategori ‘banyak’ itu dipersoalkan secara kuantitatif. Dalam hukum, ada asas lex certa, lex stricta, lex scripta. Hukum itu harus jelas dan tegas, tertulis, atau artinya tidak multitafsir.
“Hal ini berarti tindakan pelabelan terorisme terhadap organisasi tertentu, berpotensi menimbulkan kesimpangsiuran penegakan hukum dan bisa jadi pelanggaran HAM baru,” ujarnya.
Berdasarkan kedua hal di atas, Filep menggarisbawahi pemikiran dalam memberi label teroris seharusnya diikuti dengan pendekatan HAM agar pemberantasan terorisme tidak sekadar mengedepankan aspek represif semata.
“Papua sudah terlalu sering mengalami represi sejak dulu. Celakanya, semua bentuk represi itu tidak pernah selesai, minimal oleh pengadilan HAM,” ujarnya.
Penulis : Johannes Mangihot Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV