Irjen Napoleon Bonaparte Seret Nama Menkumham Yasonna Laoly di Kasus Djoko Tjandra
Hukum | 23 Februari 2021, 07:34 WIBJAKARTA, KOMPAS TV - Mantan Kadiv Hubungan Internasional (Kadivhubinter) Polri, Irjen Napoleon Bonaparte, menyeret nama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly dalam kasus Djoko Tjandra.
Napoleon menjelaskan alasannya dirinya membawa-bawa nama Menkumham tersebut.
Baca Juga: Irjen Napoleon Bonaparte Dituntut 3 Tahun Penjara Terkait Kasus Djoko Tjandra
Menurut dia, penghapusan status buronan atau DPO atas nama Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra dari Enhanced Cekal System (ECS) pada Sistem Informasi Keimigrasian (SIMKIM) Direktorat Jenderal Imigrasi bukanlah tanggung jawabnya.
Melainkan, kata Napoleon, hal tersebut menjadi tanggung jawab Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly.
"Bahwa penghapusan nama Joko Soegiarto Tjandra dalam sistem ECS adalah kewenangan Menteri Hukum dan HAM RI (Yasonna Laoly) atau Dirjen Imigrasi (Jhoni Ginting)," kata Napoleon saat membacakan pleidoi atau nota pembelaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (22/2/2021).
"Sehingga bukan tanggung jawab Terdakwa karena memang Terdakwa tidak memiliki kewenangan itu."
Baca Juga: Brigjen Prasetijo Utomo Dituntut 2,5 Tahun Penjara atas Suap dari Djoko Tjandra
Napoleon juga menyebut dirinya adalah korban kriminalisasi dari kasus yang telah direkayasa.
Ia mengatakan, jerat hukum yang menimpanya adalah upaya mempertahankan kewibawaan institusi Polri di tengah sorotan publik atas bebasnya buronan Djoko Tjandra keluar-masuk Indonesia.
"Bahwa kami telah menjadi korban dari kriminalisasi melalui media sosial yang memicu malapraktik dalam penegakan hukum," ujarnya.
Adapun kriminalisasi yang dimaksud, kata Napoleon, berupa masifnya pergunjingan publik karena perasaan sinisme terhadap kekuasaan.
Baca Juga: Terbukti Bersalah Terima Suap dari Djoko Tjandra, Jaksa Pinangki Divonis 10 Tahun Penjara
"Sehingga menggeneralisir setiap simbolnya sebagai pelampiasan hasrat ghibah yang memicu malapraktik dalam penegakan hukum atas nama mempertahankan keluhuran marwah institusi," ujar Napoleon.
Napoleon mengatakan, ada rekayasa di balik kasus yang menimpanya. Ia menuding rekan Djoko Tjandra, Tommy Sumardi, yang menjadi aktor utama dari rekayasa tersebut.
Menurut Napoleon, semua itu bermula ketika Tommy diminta mengakui menerima uang sebanyak Rp 10 miliar dari Djoko Tjandra terkait pengurusan pengecekan Red Notice.
Hanya, Napoleon tidak mengatakan secara gamblang siapa pihak yang mendesak Tommy.
Baca Juga: ICW Desak KPK Ambilalih Kasus Djoko Tjandra dan Temukan “King Maker” Sebenarnya
"Rekayasa kasus ini pun dimulai, Tommy Sumardi enggak punya pilihan lain kecuali berupaya mati-matian agar tidak dituntut karena telah menipu mentah-mentah Djoko Tjandra dengan janji dapat mengurus Red Notice," ujar Napoleon.
"Untuk menghindar dari konsekuensi tersebut, maka di hadapan penyidik Bareskrim Polri, Tommy Sumardi kemudian merekayasa cerita bahwa uang tersebut telah dibagikan kepada kami."
Dalam kesimpulan pleidoi, Napoleon meminta majelis hakim membebaskan dirinya dari seluruh tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Sebab, menurutnya, penghapusan DPO atas nama Djoko Tjandra bukan merupakan tanggung jawabnya, melainkan Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham.
Baca Juga: Kasus Kewarganegaraan Ganda dari Bupati Terpilih Orient Hingga Djoko Tjandra
"Oleh karenanya dapat ditarik kesimpulan bahwa perbuatan kami sebagai Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan," ujarnya.
Dalam surat dakwaannya, Napoleon disebut memerintahkan penerbitan surat yang ditujukan kepada Dirjen Imigrasi Kemenkumham RI.
Adapun surat itu bernomor B/1000/IV/2020/NCB-Div HI, tanggal 29 April 2020, surat nomor: B/1030/V/2020/NCB-Div HI tanggal 04 Mei 2020, dan surat nomor 8 1036/V/2020/NCB-Div HI tgi 05 Mei 2020.
Dengan surat-surat tersebut, pada 13 Mei 2020 pihak Imigrasi melakukan penghapusan status DPO atas nama Joko Soegiarto Tjandra.
Yasonna sempat merespons saat buronan Djoko Tjandra terendus sudah berada di Indonesia. Ia menyebut ada dua kemungkinan Direktur PT Era Giat Prima (EGP) itu berada di Indonesia.
Baca Juga: 2 Ahli Digital Forensik Beri Kesaksian dalam Persidangan Kasus Djoko Tjandra
Dua opsi itu yakni lewat jalur tikus atau menggunakan identitas palsu. Yasonna mengatakan, hal itu mungkin saja dilakukan.
Sebab, Ditjen Imigrasi Kemenkumham tidak mencatat kedatangan Djoko Tjandra ke Indonesia lewat bandara atau pelabuhan resmi.
"Melihat peristiwa sebelumnya Harun Masiku, saya langsung perintahkan untuk cek langsung, cek di server kita dan sekarang saya sudah minta melihat CCTV yang ada di perlintasan kita," kata Yasonna pada 2 Juli 2020 lalu.
Reaksi Polri
Terkait pledoi Napoloen itu, Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan menilai pernyataan itu hanya pendapat pribadi.
Baca Juga: Penasihat Hukum Sebut Tak Ada Bukti Pinangki Terima Uang 500 USD dari Djoko Tjandra
"Jadi, setiap orang itu tentunya memiliki hak untuk berbicara mengeluarkan pendapat. Jadi silakan saja," kata Ahmad kepada wartawan, Senin (22/2/2021).
Meski begitu Ahmad menegaskan, langkah hukum yang dilakukan Polri berdasarkan bukti yang ada, sehingga proses hukum dilakukan sesuai aturan yang berlaku.
"Siapa pun yang ditegakkan secara hukum, ada proses hukumnya," kata Ahmad.
Terkait perkara yang tengah menjeratnya, Napoleon dituntut dengan pidana penjara selama tiga tahun dan denda sebesar Rp100 juta subsidair enam bulan kurungan.
Baca Juga: Kasus Penghapusan Red Notice Djoko Tjandra, Tommy Sumardi Dituntut 1 Tahun 6 Bulan Bui
Jaksa menilai Napoleon terbukti secara sah dan menurut hukum menerima suap sebesar Sin$200 ribu atau sekitar Rp 2.145.743.167 dan US$370 ribu atau sekitar Rp 5.148.180.000 dari terpidana korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra.
Suap total sekitar Rp 7 miliar itu dimaksudkan agar Napoleon menghapus nama Djoko Tjandra dari DPO yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.
Berdasarkan hal itu, Djoko nantinya bisa masuk ke wilayah Indonesia secara sah dan tidak ditangkap oleh aparat penegak hukum lantaran berstatus buronan.
Ia berencana mendaftar Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang menghukumnya dengan pidana 2 tahun penjara terkait kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali.
Baca Juga: Djoko Tjandra Divonis 2,5 Tahun Penjara di Kasus Surat Jalan Palsu
Penulis : Tito-Dirhantoro
Sumber : Kompas TV