Surat Edaran Kapolri soal ITE: Penyidik Harus Bedakan Kritik, Masukan, Hoaks, Pencemaran Nama Baik
Hukum | 22 Februari 2021, 21:57 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan surat edaran tentang penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Surat edaran bernomor SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif, dikeluarkan Kapolri pada Jumat (19/2/2021) lalu.
Surat edaran itu dikeluarkan Kapolri karena dilatai pertimbangan adanya perkembangan situasi nasional terkait penerapan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, yang dinilai kontradiktif dengan hak kebebasan berekspresi masyarakat melalui ruang digital.
Oleh karena itu, untuk menegakkan hukum yang berkeadilan, Kapolri meminta anggota Polri untuk mengedepankan edukasi dan langkah persuasif.
Sehingga, dapat menghindari adanya dugaan kriminalisasi terhadap orang yang dilaporkan serta dapat menjamin ruang digital Indonesia agar tetap bersih, sehat, beretika, dan produktif.
"Maka diharapkan kepada seluruh anggota Polri berkomitmen menerapkan penegakan hukum yang dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat," ujar Kapolri dalam Surat Edaran yang diperoleh KompasTV, Senin (22/2/2021).
Baca Juga: Kemenko Polhukam Bentuk 2 Tim Kaji Revisi UU ITE
Dalam surat edaran itu, terdapat 11 poin yang harus dipedomani oleh seluruh anggota Polri.
1. Mengikuti perkembangan pemanfaatan ruang digital yang terus berkembang dengan segala macam persoalannya.
2. Memahami budaya beretika yang terjadi di ruang digital dengan menginventarisir berbagai permasalahan dan dampak yang terjadi di masyarakat.
3. Mengedepankan upaya preemtif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert yang bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber.
3. Dalam menerima laporan dari masyarakat, penyidik harus dapat dengan tegas membedakan antara kritik, masukan, hoaks, dan pencemaran nama baik yang dapat dipidana untuk selanjutnya menentukan langkah yang akan diambil.
4. Sejak penerimaan laporan, agar penyidik berkomunikasi dengan para pihak terutama korban (tidak diwakilkan) dan memfasilitasi serta memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan mediasi.
5. Melakukan kajian dan gelar perkara secara komprehensif terhadap perkara yang ditangani dengan melibatkan Bareskrim/Dittipidsiber (dapat melalui zoom meeting) dan mengambil keputusan secara kolektif kolegial berdasarkan fakta dan data yang ada.
6. Penyidik berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimatum remidium) dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara.
7. Terhadap para pihak dan/atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan restorative justice terkecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme.
8. Korban yang tetap ingin perkaranya diajukan ke pengadilan namun tersangkanya telah sadar dan meminta maaf, terhadap tersangka tidak dilakukan penahanan dan sebelum berkas diajukan ke JPU agar diberikan ruang untuk mediasi kembali.
9. Penyidik agar berkoordinasi dengan JPU dalam pelaksanaanya, termasuk memberikan saran dalam hal pelaksanaan mediasi pada tingkat penuntutan.
10. Agar dilakukan pengawasan secara berjenjang terhadap setiap langkah penyidikan yang diambil dan memberikan reward serta punishment atas penilaian pimpinan secara berkelanjutan.
"Surat Edaran ini disampaikan untuk diikuti dan dipatuhi oleh seluruh anggota Polri," ujar Kapolri menutup surat edarannya.
Baca Juga: Rocky Gerung: Soal UU ITE, Jokowi Hanya Dengar Tuntutan SBY & JK, Itu Diskriminatif - ROSI
Penulis : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV