> >

YLBHI Minta Revisi UU ITE Jadi Prioritas agar Tak Ada Lagi Kesewenang-wenangan Hukum

Hukum | 17 Februari 2021, 18:14 WIB
Ilustrasi: UU ITE. (Sumber: -)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ( YLBHI) menyoroti pentingnya revisi Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

YLBHI bahkan meminta pemerintah agar memprioritaskan revisi UU ITE tersebut.

"Memprioritaskan revisi terhadap UU yang menghambat serta melanggar kebebasan berpendapat dan berekspresi, antara lain UU ITE," ujar Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Muhammad Isnur dalam keterangan tertulis dikutip dari Kompas.com, Rabu (17/2/2021).

Bukan tanpa alasan, permintaan ini dilatarbelakangi dengan banyaknya pelanggaran atas kebebasan berpendapat dan berekspresi sepanjang 2020.

Baca Juga: Banyak Makan Korban, YLBHI Minta Keinginan Jokowi Revisi UU ITE Bukan Retorika Politik

Berdasarkan data YLBHI, pelanggaran kebebasan berpendapat dan berekspresi tersebar di sejumlah wilayah, yakni di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Lampung.

Kemudian Riau, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Papua.

Secara lebih rinci, terdapat pelanggaran hak berekspresi atau berpendapat secara lisan sebanyak 26 persen, pelanggaran hak menyampaikan pendapat melalui unjuk rasa mencapai 25 persen, dan pelanggaran hak berekspresi atau berpendapat secara digital sebanyak 17 persen.

Selanjutnya, pelanggaran hak mencari dan menyampaikan informasi sebanyak 16 persen dan pelanggaran terhadap data pribadi sebesar 16 persen.

Isnur menuturkan, berbagai pelanggaran kebebasan berpendapat dan berekspresi ini berakar dari sejumlah kebijakan yang bertentangan dengan konstitusi dan UU.

Di antaranya, Surat Telegram Kapolri Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 tertanggal 4 April 2020 mengenai penghinaan terhadap presiden dan pejabat negara.

Kemudian, Surat Telegram Kapolri Nomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 tertanggal 2 Oktober 2020 untuk menghadapi aksi penolakan Omnibus Law Cipta.

Selanjutnya, Surat Keputusan Bersama (SKB) 11 kementerian dan lembaga terkait penanganan radikalisme dan penguatan wawasan kebangsaan pada Aparatur Sipil Negara (ASN).

Hal ini diperparah dengan adanya diskriminasi penegakan hukum dan buruknya hukum acara pidana Indonesia.

Tak ayal, tidak sedikit lembaga yang memotret indeks demokrasi di Indonesia merosot tajam.

Menurut Isnur, pemerintah perlu memperbaiki permasalahan ini sekaligus memastikan tidak ada lagi pelanggaran serupa di kemudian hari.

"Memastikan tidak ada lagi pembubaran sewenang-wenang, penangkapan dan kriminalisasi terhadap orang atau kelompok yang menyampaikan pendapat di muka umum yang dilakukan secara damai," kata dia.

Baca Juga: Kapolri Listyo Sigit Minta Pelaku UU ITE Tak Ditahan, Ini Syaratnya

Sinyal merevisi UU ITE sebelumnya dilontarkan Presiden Jokowi. Ia meminta implementasi UU tersebut menjunjung prinsip keadilan.

Jokowi mengaku akan meminta DPR merevisi UU ITE apabila hal itu tidak terwujud.

"Kalau Undang-Undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan ya saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi undang-undang ini, Undang-undang ITE ini," kata Jokowi, saat memberikan arahan pada rapat pimpinan TNI-Polri di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/2/2021).

Jokowi bahkan mengatakan akan meminta DPR menghapus pasal-pasal karet yang ada di UU ITE karena pasal-pasal itu menjadi hulu dari persoalan hukum UU tersebut.

"Terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak," ujar Jokowi.

Baca Juga: Kompolnas: Bila Tersangka UU ITE Kurang Bukti, Langsung Hentikan Kasus

 

Penulis : Fadhilah

Sumber : Kompas TV


TERBARU