Dan ketika hari pemberontakan tiba, tak banyak pejabat pribumi dan kolonial Belanda yang menduga bakal terjadi. Sebab, para pemimpin pemberontakan sebenarnya hanyalah tokoh agama yang rajin mengadakan sembahyang dan zikir bersama-sama. Namun perkumpulan tarekat justeru menjadi ajang kampanye terhadap kekecewaan rakyat.
Salah satu tokohnya adalah Haji Abdul Karim, ulama besar dan orang yang disucikan di mata rakyat. Menurut anggapan umum, dia adalah wali Allah yang dianugerahi berkah karena itu disebut keramat.
Haji Abdul Karim memiliki sejumlah murid yang memainkan peran penting dalam pemberontakan, yaitu Haji Sangadeli, Haji Asnawi, Haji Abubakar, Haji Tubagus Ismail dan Haji Marjuki.
Pemberontakan dimulai pada 9 Juli dari Cilegon, tempat tinggal para pejabat pamongpraja, Eropa dan Pribumi, yakni asisten residen, kontrolir muda, patih, wedana, jaksa, asisten wedana, ajun kolektor, kepala penjualan garam dan para pejabat lainnya di bawah birokrasi kolonial.
Baca Juga: Mengenang 10 Tahun Penyerangan Berdarah Jemaat Ahmadiyah Cikeusik Banten
Dari Cilegon pemberontakan melebar ke Anyer dan serang. Untuk memadamkan pemberontakan sampai harus dikirim tambahan pasukan dari Batavia dan ekspedisi militer ke berbagai jurusan. Ekspediri militer tersebut untuk memamerkan kekuatan dan melakukan penangkapan-penangkapan.
Setelah pemberontakan berhasil dilumpuhkan, pemerintah kolonial Belanda kemudian melakukan banyak evaluasi dalam menjalankan roda pemerintahan di sana. Salah satu yang dikemukakan adalah adanya intrik dan persengketaan anggota priayi Banten yang tidak segan menggunakan cara-cara melawan hukum atau tidak terhormat. Sementara pemerintah Belanda tutup mata atas perilaku licik pejabat tinggi pribumi tersebut.
Penulis : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV