Soal Kasus Siswi Nonmuslim Diminta Pakai Jilbab, Mahfud MD: Situasinya Tidak Boleh Dibalik
Peristiwa | 24 Januari 2021, 19:36 WIBJAKARTA, KOMPAS TV - Kasus siswi nonmuslim yang diminta mengenakan jilbab di Sumatera Barat menuai beragam komentar.
Salah satunya datang dari Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud Md.
Meski tak berbicara langsung mengenai kasus tersebut, Mahfud MD bicara dari sudut pandang kebijakan yang diterapkan melalui media sosial Twitter.
Baca Juga: Siswi Nonmuslim SMKN 2 Padang Sudah Bersekolah Tanpa Wajib Jilbab, Ortu Anggap Masalah Selesai
Seperti diketahui, Mahfud MD dalam cuitannya menyinggung soal larangan anak-anak memakai jilbab pada akhir 1970-an.
Mahfud Md menyebut aturan tersebut ketika itu sempat diprotes keras pada masanya.
Namun, kata Mahfud, setelah siswi diperkenankan mengenakan jilbab dan busana muslim, situasi demikian tidak boleh dibalik dengan mewajibkan anak nonmuslim memakai jilbab di sekolah.
"Akhir 1970-an sampai dengan 1980-an anak-anak sekolah dilarang pakai jilbab. Kita protes keras aturan tersebut ke Depdikbud," kata Mahfud MD dikutip dari akun Twitter pribadinya pada Minggu (24/1/2021).
Baca Juga: Disdik Sumbar Bentuk Tim Investigasi Kasus Siswi Nonmuslim Dipaksa Berjilbab
"Setelah sekarang memakai jilbab, dan busana muslim dibolehkan, dan menjadi mode, tentu kita tak boleh membalik situasi dengan mewajibkan anak nonmuslim memakai jilbab di sekolah."
Menurut Mahfud, di era akhir 1980, umat Islam di Indonesia masih merasakan diskriminasi.
Namun, perlahan-lahan rasa diskriminasi itu hilang karena perjuangan ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah melalui pendidikan.
"Sampai dengan akhir 1980-an di Indonesia terasa ada diskriminasi terhadap orang Islam. Tapi berkat perjuangan yang kuat dari NU Muhammadiyah dan lain-lain, terutama melalui pendidikan, demokratisasi menguat," ujar Mahfud.
Baca Juga: Isu Intoleransi dalam Aturan Berhijab Siswi Non-Muslim di Sekolah Negeri
Selanjutnya pada awal 1990-an berdirilah organisasi ICMI. Setelah itu, masjid dan majelis taklim tumbuh di berbagai kantor pemerintah dan kampus-kampus.
Lebih lanjut, Mahfud menambahkan, kebijakan Menteri Agama Wahid Hasyim pada saat 1950-an dan Bahder Johan selaku Mendikjar, santri diperbolehkan masuk ke politik dan pemerintahan.
"Pada awal 1950-an, Menag Wahid Hasyim (NU) dan Mendikjar Bahder Johan (Masyumi) membuat kebijakan: sekolah umum dan sekolah agama mempunyai 'civil effect' yang sama," kata Mahfud.
"Hasilnya, sejak 1990-an kaum santri terdidik bergelombang masuk ke posisi-posisi penting di dunia politik dan pemerintahan."
Baca Juga: Tegas! Nadiem Makarim Minta Beri Sanksi Pelaku Pemaksaan Siswi Nonmuslim Berjilbab
Setelah kebijakan dua menteri tersebut, kata Mahfud MD, kini telah menunjukkan hasilnya. Banyak kaum santri selain menempati posisi pemerintahan, juga termasuk TNI dan Polri.
"Kebijakan penyetaraan pendidikan agama, dan pendidikan umum oleh dua menteri itu sekarang menunjukkan hasilnya," ujar Mahfud.
"Pejabat-pejabat tinggi di kantor-kantor pemerintah, termasuk di TNI dan POLRI, banyak diisi oleh kaum santri. Mainstream keislaman mereka adalah 'wasarhiyah Islam' moderat dan inklusif."
Baca Juga: Siswi Non-Muslim Diminta Berhijab, Komnas HAM Panggil Dinas Pendidikan Sumbar Besok 25 Januari
Penulis : Tito-Dirhantoro
Sumber : Kompas TV