Saksi Penting Kasus Korupsi Ekspor Benih Lobster yang Menjerat Edhy Prabowo Meninggal Dunia
Hukum | 4 Januari 2021, 14:59 WIBJAKARTA, KOMPAS TV - Seorang saksi kasus korupsi ekspor benih lobster atau benur yang menjerat mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, meninggal dunia.
Saksi tersebut diketahui bernama Deden Deni. Dia merupakan Direktur PT Perishable Logistics Indonesia (PLI) yang juga pengendali PT Aero Citra Kargo (ACK).
"Informasi yang kami terima yang bersangkutan meninggal sekitar tanggal 31 Desember yang lalu," kata Plt Juru Bicara Penindakan KPK, Ali Fikri melalui keterangan resminya, Senin (4/1/2020).
Baca Juga: KPK Cegah Istri Edhy Prabowo Bepergian ke Luar Negeri
Meski salah satu saksi kasus ini telah meninggal dunia, Ali menyatakan proses penyidikan perkara tersangka Edhy dan yang lainnya tidak terganggu.
"Sejauh ini masih berjalan dan tentu masih banyak saksi dan alat bukti lain yang memperkuat pembuktian rangkaian perbuatan dugaan korupsi para tersangka tersebut," ucap Ali.
Deden Deni merupakan salah satu saksi penting dalam kasus suap ekspor benur yang menjerat Edhy Prabowo.
Sebab, PT ACK yang dikendalikannya merupakan satu-satunya perusahaan kargo yang mendapat izin untuk mengangkut benih lobster ke luar negeri.
Baca Juga: Penahanan 2 Tersangka Kasus Edhy Prabowo Diperpanjang, Penyidik KPK Lengkapi Berkas Perkaranya
PT ACK ketika itu memasang tarif biaya angkut benih lobster ke luar negeri sebesar Rp 1.800 per ekor.
Penyidik KPK pun pernah memeriksa Deden Deni pada Senin (7/12/2020) untuk mendalami pengajuan permohonan izin ekspor benih lobster oleh PT ACK.
"Deden Deni didalami sebagai saksi tentang aktivitas PT ACK dalam pengajuan permohonan izin ekspor benur lobster di KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan)," kata Ali, Selasa (8/12/2020).
Dalam kasus ini, Edhy diduga menerima uang hasil suap terkait izin ekspor benih lobster senilai Rp 3,4 miliar melalui PT ACK dan 100.000 dollar AS dari Direktur PT Dua Putra Perkasa (PT DPP) Suharjito.
PT ACK diduga menerima uang dari beberapa perusahaan eksportir benih lobster tersebut.
Baca Juga: Jadi Menteri KKP Ad Interim Gantikan Edhy Prabowo, Syahrul Yasin Imbau Jajarannya Jangan Korupsi!
Uang itu salah satunya dari PT DPP yang mentransfer uang Rp 731.573.564 agar memperoleh penetapan kegiatan ekspor benih lobster.
Wakil Ketua KPK, Nawawi Pomolango, mengatakan berdasarkan data, PT ACK dimiliki oleh Amri dan Ahmad Bahtiar yang diduga merupakan nominee dari pihak Edhy Prabowo dan Yudi Surya Atmaja.
"Uang yang masuk ke rekening PT ACK diduga berasal dari beberapa perusahaan eksportir benih lobster tersebut, selanjutnya ditarik dan masuk ke rekening AMR (Amri) dan ABT (Ahmad Bahtiar) masing-masing dengan total Rp 9,8 miliar," kata Nawawi, Rabu (25/11/2020).
KPK juga telah mencegah Deden dan tiga orang saksi lain untuk berpergian ke luar negeri sejak 4 Desember 2020 dalam rangka kepentingan penyidikan.
Baca Juga: Deddy Corbuzier Kecewa 2 Tamu Podcastnya Juliari Batubara dan Edhy Prabowo Ternyata Koruptor
Selain Deden, mereka yang dicegah adalah istri Edhy Prabowo sekaligus anggota DPR RI, Iis Rosita Dewi; serta dua pihak swasta bernama Neti Herawati dan Dipo Tjahjo P.
Dalam perkara dugaan kasus suap ini, KPK menetapkan total sebanyak tujuh orang sebagai tersangka.
Enam orang sebagai penerima suap yakni Edhy Prabowo, stafsus Edhy yaitu Safri dan Andreau Pribadi Misata, Pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK) Siswadi, staf istri Edhy yaitu Ainul Faqih dan sekretaris pribadi Edhy bernama Amiril Mukminin.
Mereka disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Baca Juga: Dituding Otak Penangkapan Edhy Prabowo, Keluarga Jusuf Kalla Polisikan Danny Pomanto
Sedangkan pihak pemberi suap adalah Direktur PT Dua Putra Perkasa (DPP), Suharjito, disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Penulis : Tito-Dirhantoro
Sumber : Kompas TV