> >

Mengembalikan Kehormatan Bangsa melalui Pemulihan Hak Rakyat

Politik | 11 Desember 2020, 16:35 WIB
Kebangsaan Indonesia dinilai seperti cermin yang mengalami keretakan di sana-sini. (Sumber: Istimewa.)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Kebangsaan Indonesia dinilai seperti cermin yang mengalami keretakan di sana-sini. Beruntung masih terdapat bingkai berupa negara yang menyatukannya.

Pendapat ini dikemukan oleh Dr Ngatawi Al Zastrouw, mantan Juru Bicara Presiden Abdurrahman Wahid, saat memberikan refleksi dalam diskusi webinar bertema "Mengembalikan Kehormatan Bangsa melalui Pemulihan Hak Rakyat di Bidang Politik, Ekonomi, dan Budaya", yang digelar DPP Gerakan Pembumian Pancasila, Kamis (10/12/2020).

"Situasi kebangsaan kita, situasi kepancasilaan kita, situasi kebernegaraan kita saat ini, kalau kita melihat situasi negara kita ini seperti bercermin yang retak, artinya ada keretakan di sana-sini."

"Tapi untunglah cermin yang retak itu tidak sampai terkelupas dan masih tetap berdiri di tempatnya, karena masih ada bingkai yang menyatukan itu. Masih ada bingkai yang membuat retakan-retakan itu tidak terlepas," kata Zastrouw.

Bangsa ini, sambungnya, sedang megalami defisit tradisi. Banyak tradisi-tradisi yang diturunkan dari para leluhur hilang dan tergerus. Padahal tradisi-tradisi, nilai, dan norma yang mulia itu, oleh para pendiri bangsa sudah dikristalkan ke dalam suatu bentuk yang disebut Pancasila.

"Tapi detik ini Pancasila seolah-olah tidak bisa mengepakkan sayapnya. Karena kepak sayap garuda dan mata tajamnya sudah terjepit," kata Dewan Pakar DPP Gerakan Pembumian Pancasila ini.

Pancasila terjepit oleh dua sisi. Dari sisi kiri terjepit liberalisme, dari sisi kanan dijepit formalisme dan simbolisme. Kedua sisi ini sedang menekan proses kebangsaan yang ada di Indonesia.

Untuk mengembalikan kehormatan bangsa tanpa adanya retakan-retakan dalam bingkai Pancasila, Zastrouw mengatakan, saatnya untuk kembali kepada kesadaran untuk hidup pada norma, ajaran-ajaran yang telah diberikan orang tua kita, yang detik ini sudah tidak dikenali oleh generasi saat ini.

"Saya bukan orang yang ingin mempertahankan tradisi dengan mati-matian. Tradisi (memang) harus bergeser, adat harus bergeser, tapi nilai spirit norma dan ajaran-ajaran tradisi itu yang harus dijaga, yang harus kita aktualisasi sesuai dengan realita kekinian," ujarnya.

Artinya, dalam kehidupan berbangsa, kita perlu melakukan rekonstruksi terhadap nilai-nilai norma dan tradisi dalam konteks kekinian. Karena hal ini sudah dilakukan oleh orang tua kita sejak dulu.

Dengan situasi yang ada sekarang ini, Zastrowu mengajak untuk kembali sejenak pulang ke rumah yang bernama nusantara untuk digali kembali, dikaji, dan mengasah seluruh potensi ajaran leluhur yang baik.

"Kita rekonstruksi, kita rangka, kita bikin rumah agar bisa ditempati dengan spirit-spirit yg baik. Yang dalam konteks ini sudah dirumuskan dalam Pancasila itu. Mari sama-sama kembali ke rumah nusantara," katanya.

Baca Juga: Kedatangan Vaksin Corona Jadi "Game Changer", Seampuh Apa Pulihkan Ekonomi Indonesia?

Sementara, Drs Ruskana Putra Marhaen, Dewan Pembina Pusat Kajian Marhaenisme, berpendapat cara untuk kembali kepada kerukunan, keutuhan bangsa Indonesia adalah harus ada kemauan politik dari pengelola negara untuk menyelenggarakan rekonsiliasi nasional.

Salah satu rekonsiliasi yang diperlukan adalah rekonsiliasi pelurusan sejarah. Contohnya pelurusan sejarah peristiwa 1 Oktober 1965.

Banyak tulisan dan versi berdasarkan tafsir sendiri-sendiri tentang peristiwa 1 Oktober 1965. Namun Ruskana sebagai penganut ajaran Bung Karno, maka tentu penilaian terhadap peristiwa 1 Oktober 1965 merujuk kepada keterangan Bung Karno.

Menurut Bung Karno, kata Ruskana, peristiwa 1 Oktober 1965 adalah bermuaranya pada tiga hal, yakni lihainya Nekolim, keblingernya pimpinan PKI, dan adanya oknum yang tidak benar di dalam negeri.

Berdasarkan hal tersebut di atas, siapa yang dimaksud dengan oknum yang tidak benar di dalam negeri itu? Kalau merujuk kepada tulisan para pengamat saat itu, dapat disimpulkan bahwa siapa yang membangkang kepada perintah Presiden Pati ABRI?

"Masih segar dalam ingatan saya, saat itu tanggal 3 Oktober 1965 Bung Karno berpidato dan memerintahkan untuk menciptakan suasana tenang dan tertib, penyelesaian politik atas peristiwa 1 Oktober 1965 serahkan kepada beliau (Bung Karno)," kata Ruskana.

Namun yang dilakukan Pangkostrad Soeharto dengan angkatan daratnya, terus melakukan pengejaran, penangkapan, bahkan pembantaian terhadap siapa saja pengikut Bung Karno.

Menurut Ruskana, sebenarnya Soeharto yang dengan dalih menumpas PKI, hanya sekedar alibi. Sebenarnya, Soeharto mau menumbangkan Bung Karno. Hal tersebut dapat dilihat dari pembasmian terhadap pendukung Bung Karno.

"Kalau benar Soeharto mau menumpas PKI, lalu kenapa banyak tokoh nasional yang anti-PKI (seperti Chairul Saleh, Sudibjo, Tumakaka, 16 menteri yang menyatakan mendukung pemerintahan Bung Karno) juga turut dimatikan karirnya dan bahkan 'diamankan'?" ujar Ruskana.

Akibat sejarah yang tidak benar ini, masih ada sekelompok rakyat yang masih dianggap warga negara kelas 2, yakni mereka yang distigma sebagai eks tapol dan napol peristiwa 1 Oktober 1965.

"Selama ada satu golongan yang dinafikkan, maka selama itu pula, stabilitas nasional akan sulit dicapai," tegas Ruskana.

Indonesia Mengalami Penjajahan Ekonomi

Chandra Setiawan, mantan anggota Komnas HAM periode 2002-2007, kini komisioner KPPU periode 2018-2023, memaparkan negara kita sedang dalam penjajahan ekonomi.

Pasca Presiden Soekarno disingkirkan, asing telah menguasai ekonomi Indonesia. Hal ini bisa terlihat dari Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang dikeluarkan Orde Baru.

Undang-undang ini memungkinkan asing menguasai sektor-sektor ekonomi bersama-sama dengan perusahaan domestik. Antara lain, pelabuhan, tenaga listrik, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api umum, pembangkit tenaga atom, hingga media massa.

Kemudian, Undang-Undang No.6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Pasal 3 ayat (1) berbunyi, ”Perusahaan nasional adalah perusahaan yang sekurang-kurangnya 51% daripada modal dalam negeri yang ditanam di dalamnya dimiliki oleh Negara dan/atau, swasta nasional. Presentase itu senantiasa harus ditingkatkan sehingga pada tanggal 1 Januari 1974 menjadi tidak kurang dari 75%.”

"Hal ini berarti bahwa perusahaan asing sudah boleh memiliki 49% dari perusahaan-perusahaan yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak," kata Chandra.

Kemudian dalam perjalanannya, kedua undang-undang yang sebenarnya sudah cukup merugikan itu, kembali direduksi dengan Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 1994.

Pada pasal 5 ayat (1), isinya membolehkan perusahaan asing melakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak.

Pasal 6 ayat (1) mengatakan: “Saham peserta Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) huruf a, sekurang-kurangnya 5% dari seluruh modal disetor perusahaan pada waktu pendirian”.

"Jadi PP No.20/1994 bertentangan dengan UU No.1/1967, bertentangan dengan UU No.6 Tahun 1968, bertentangan dengan UU No.11/1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, dan menentang jiwa Pasal 33 UUD 1945," sebut Chandra.

Baca Juga: Daftar 10 Orang Terkaya di Indonesia, Bos Djarum Masih di Posisi Teratas

Tidak hanya cukup di Orde Baru saja. Di zaman kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah membuka pintu lebar-lebar buat investor asing pada sektor jalan tol, energi, telekomunikasi, air, dan transportasi.  

Hal itu dinyatakan Menko Perekonomian saat itu, Aburizal Bakrie, dan sambuta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Infrastruktur Summit I pada tanggal 17-18 Januari 2005 di Jakarta.

Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menutup Summit tersebut juga menyampaikan, membuka kesempatan investor asing untuk membangun infrastruktur.

Ketika pemerintah mengeluarkan undang-undang terbaru mengenai penanaman modal untuk menggantikan semua perundangan dan peraturan dalam bidang penanaman modal, isinya masih tidak jauh berbeda dan dinilai masih merugikan.

Dari UU No.1 tahun 1967 hingga UU No.25 tahun 2007, kata Chandra, terlihat sangat jelas kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi, yang secara sistematis dan konsisten terus diarahkan pada kebebasan atau liberalisasi yang sebesar mungkin.

"Mekanisme pasar diperankan semakin besar, dan pada akhirnya Indonesia praktis tidak mengenal barang dan jasa publik, sehingga semakin jauh dengan Pancasila dan UUD 1945," ujar Chandra yang juga Ketua Dewan Pakar DPP Gerakan Pembumian Pancasila ini.

Mengutip pernyataan Kwik Kian Gie, Chandra mengatakan, kebijakan ekonomi Indonesia dikendalikan oleh korporasi Amerika Serikat, dengan dukungan sepenuhnya oleh pemerintah Amerika Serikat dan lembaga-lembaga internasional.

Salah satu contohnya adalah jebakan utang (debt trap). Telah lama Indonesia masuk ke dalam jebakan utang. Indonesia terus-menerus diberi utang.

Chandra mengungkap, utang luar negeri (ULN) Indonesia per Agustus 2020 sebesar USD413.4 miliar, terdiri dari utang sektor publik (pemerintah dan bank sentral) sebesar USD203,0 miliar, dan sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar USD210,4 miliar.

Rasio ULN sendiri terhadap Produk Domestik Bruto pada akhir Agustus 2020 mencapai 38,5%.

Di saat Indonesia mengalami penjajahan ekonomi oleh asing, negara ini juga dikhianati oleh perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme dari dalam negeri.

"Merajalelanya praktik korupsi di Indonesia saat ini berdampak buruk terhadap kinerja perekonomian. Efek korupsi telah menghambat roda pembangunan atau secara teorinya disebut sand the wheels hypothesis," ujar Chandra.

Buktinya adalah walaupun pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif tinggi, tapi ketimpangan ekonomi (inequality) juga tinggi. Ini terjadi karena terhalangnya distribusi sumber daya ekonomi ke semua lapisan masyarakat karena disandera oleh praktik korupsi.

Kenapa hal ini terjadi? Salah satu penyebabnya adalah perekonomian Indonesia dijalankan dengan sistem kroni.

Contohnya terjadi di sektor kelapa sawit, hanya lima perusahaan yang menguasai 75% tata niaga minyak sawit di Indonesia. Selain menguasai sektor kelapa sawit, mereka juga menguasai sektor keuangan, pertambangan, kehutanan dan sebagainya. Inilah yang mendorong Crony-Capitalism Index (CCI) Indonesia tertinggi nomor ketujuh di dunia.

Karena itu, ketimpangan ekonomi di Indonesia sangat tinggi. Laporan Oxfam (2017) menunjukan empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan melebihi kekayaan 100 juta penduduk termiskin di Indonesia.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), 1% penduduk Indonesia menguasai 68% lahan produktif di Indonesia.

Ada dua penyebab utama dari korupsi. Pertama, minimnya mekanisme reward and punishment dalam pelayanan publik. Kedua, ketiadaan sistem yang “berintegritas”.

Reward and punishment memiliki kaitan erat dengan asumsi rasionalitas aktor di birokrasi yang dianggap akan merespon secara linier terhadap mekanisme tersebut, terlepas dari konteks sosialnya."

Sementara argumen perlunya sistem yang “berintegritas” erat kaitannya dengan asumsi bahwa individu yang memiliki “integritas” akan mampu mencegah dirinya dari melakukan hal-hal yang digolongkan sebagai korupsi.

Dengan demikian, “integritas” menjadi esensi yang harus dimasukkan ke dalam pribadi individu, sebagai bekal ia melawan korupsi dan membentuk budaya baru yang antikorupsi.

"Masyarakat dengan kultur yang mendorong struktur sosial berperilaku koruptif perlu diubah pola pikirnya agar terbebas dari nilai-nilai koruptif, terlebih lagi agar menjunjung integritas.”

Chandra menyarankan, pemberantasan KKN harus dimulai dari pimpinan tertinggi, disusul para pejabat tinggi lainnya.

Kemudian, pemberantasan KKN mesti komprehensif, termasuk reformasi birokrasi, tidak melalui slogan-slogan, tetapi melalui konsep dan rencana tindak yang konkret.

Mekanisme pasar harus dipagari oleh berbagai peraturan dan pengaturan pemerintah guna menjaga agar persaingan usaha senantiasa sehat dan wajar.

Surat Terbuka Gerakan Pembumian Pancasila kepada Presiden Jokowi

Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gerakan Pembumian Pancasila (GPP) mengeluarkan rekomendasi terkait situasi bangsa saat ini.

Adapun rekomendasi yang ditandatangani oleh Ketua Umum DPP GPP Antonius Manurung dan Sekjen DPP GPP Bondan Kanumoyoso, sebagai berikut:

Baca Juga: MUI Mengapresiasi Polisi dalam Kasus Rizieq Shihab, Tapi Diminta Berlaku Adil

1. Mendorong seluruh elemen bangsa untuk memperteguh komitmen Pembumian Pancasila di bumi Indonesia dalam menghadapi ancaman bahaya radikalisme-fundamentalisme transnasional dan neoliberalisme/neokolonialisme-imperialisme yang telah menginjak-injak nilai-nilai luhur Pancasila. Oleh karenanya, semua organisasi yang berkedudukan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang tidak menghormati Pancasila sebagai Dasar Negara, Ideologi dan Spritualitas Bangsa serta tidak mencantumkan Pancasila sebagai asas dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga organisasinya harus dibubarkan dan dinyatakan sebagai bahaya laten dan sebagai organisasi terlarang. Selain itu, kami
mendorong Presiden Republik Indonesia untuk menggunakan hak prerogatifnya sebagai Kepala Negara untuk mencabut hak kewarganegaan bagi siapa saja yang melakukan penghinaan Pancasila secara sadar.

2. Mendorong Kepolisian Republik Indonesia untuk mengambil tindakan tegas dan mengusut secara tuntas dugaan pelanggaran PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang dilakukan oleh sekelompok massa dalam rangka menyambut kedatangan M Rizieq Shihab serta beberapa pelanggaran lain yang dilakukan sesudahnya, sehingga dirasakan mengabaikan prinsip keadilan di masyarakat. Oleh karenanya, proses hukum harus tetap dijalankan tanpa pandang bulu bagi semua pihak yang diduga melakukan pelanggaran tersebut di atas sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3. Mendukung penuh lembaga hukum yang berwenang untuk melakukan Judicial Review secara progresif-revolusioner terhadap seluruh peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 karena telah merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa, dan bernegara.

4. Mendukung penuh Pemerintah Republik Indonesia untuk menggali dan mengembangkan konsep, gagasan, dan pemikiran Sukarno sebagai Bapak Bangsa tentang TRISAKTI: Berdaulat di Bidang Politik, Berdikari di Bidang Ekonomi, dan Berkepribadian di Bidang Kebudayaan untuk mewujudkan masyarakat Sosialisme Indonesia, sebuah masyarakat berkeadaban, berkeadilan, dan berkemakmuran, tanpa penindasan manusia atas manusia, tanpa penindasan bangsa atas bangsa.

5. Mendorong negara untuk membudayakan dan mengampanyekan ‘Gerakan Pembumian Pancasila’ sebagai model permanen pembangunan karakter dan bangsa (nation and character building) sesuai dengan cita-cita Sukarno, Presiden Republik Indonesia I dalam menyongsong 100 tahun Kemerdekaan Indonesia.

Penulis : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV


TERBARU