Gatot dan Din Syamsuddin Protes Penangkapan Petinggi KAMI: Ada Kejanggalan hingga Peretasan
Peristiwa | 15 Oktober 2020, 05:05 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) menyesalkan tindakan aparat kepolisian yang meringkus sejumlah aktivis KAMI yang menolak omnibus law UU Cipta Kerja.
Penangkapan para tokoh KAMI tersebut dianggap sebagai tindakan represif kepolisian.
"KAMI menyesalkan dan memprotes penangkapan tersebut sebagai tindakan represif dan tidak mencerminkan fungsi Polri sebagai pengayom dan pelindung masyarakat," kata Presidium KAMI Gatot Nurmantyo dalam keterangan tertulisnya, Rabu (14/10/2020).
Baca Juga: Gatot Nurmantyo Protes Aktivis KAMI Ditangkap: Polri Bertindak Represif, Ada Tujuan Politis
Dinilai Janggal
Gatot menyoroti adanya kejanggalan pada penangkapan para tokoh KAMI. Kejanggalan tersebut terutama mengenai penangkapan seorang petinggi KAMI, Syahganda Nainggolan.
Menurut Gatot, dari dimensi waktu, dasar laporan polisi, dan keluarnya Sprindik pada hari yang sama jelas aneh atau tidak lazim serta menyalahi prosedur.
"Lebih lagi jika dikaitkan dengan KUHAP Pasal 17 tentang perlu adanya minimal dua barang bukti, dan UU ITE Pasal 45 terkait frasa 'dapat menimbulkan', maka penangkapan para Tokoh KAMI patut diyakini mengandung tujuan politis," terangnya.
Baca Juga: Penangkapan Aktivis KAMI Dinilai Upaya Menyebar Ketakutan bagi Pengkritik Omnibus Law Cipta Kerja
Ponsel Diduga Diretas
Selain itu, Gatot juga menduga bahwa handphone beberapa tokoh KAMI dalam hari-hari terakhir ini diretas atau dikendalikan oleh pihak tertentu sehingga besar kemungkinan disadap atau "digandakan" (dikloning).
Sebab, menurut Gatot, hal demikian sering dialami oleh para aktivis yang kritis terhadap kekuasaan negara, termasuk oleh beberapa tokoh KAMI.
"Sebagai akibatnya, 'bukti percakapan' yang ada sering bersifat artifisial dan absurd," tutur mantan Panglima TNI itu.
Baca Juga: Protes Penangkapan Tokoh KAMI, Din Syamsuddin Yakini Ada Tujuan Politis
Minta Dibebaskan
Hal tersebut juga diakui Presidium KAMI Din Syamsuddin. Dia menambahkan bahwa sikap Polri membuka nama dan identitas seseorang yang ditangkap menunjukkan bahwa korps bhayangkara tidak menegakkan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence). Padahal hal itu seyogya harus diindahkan oleh lembaga penegak hukum seperti Polri.
Pihaknya pun menolak penisbatan atau pengaitan tindakan anarkis dalam unjuk rasa kaum buruh dan mahasiswa dengan organisasi KAMI.
Sebaliknya, Din meminya Polri harus mengusut adanya indikasi keterlibatan pelaku profesional yang menyelusup ke dalam barisan pengunjuk rasa dan melakukan tindakan anarkis termasuk pembakaran saat demonstrasi.
"KAMI meminta Polri membebaskan para tokoh KAMI dari tuduhan dikaitkan dengan penerapan UU ITE yang banyak mengandung 'pasal-pasal karet' dan patut dinilai bertentangan dengan semangat demokrasi dan Konstitusi yang memberi kebebasan berbicara dan berpendapat kepada rakyat warga negara," ujar Din.
Baca Juga: Tokoh KAMI Ditangkap Polisi, Gatot Nurmantyo: Indikasi Kuat Handphone Pun Disadap
Polisi Tangkap Aktivis KAMI
Sebelumnya, polisi menangkap delapan orang yang sebagian besar petinggi KAMI karena diduga terkait unjuk rasa menolak omnibus law UU Cipta Kerja yang bergulir sejak pekan lalu.
Mereka ditangkap dari dua daerah berbeda. Empat orang ditangkap di Medan, yakni Juliana, Devi, Khairi Amri dan Wahyu Rasari Putri. Sementara, empat lainnya diamankan di Jakarta dan sekitarnya, yakni Anton Permana, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan Kingkin.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Mabes Polri Brigjen (Pol) Awi Setiyono mengatakan, delapan orang itu ditangkap berkaitan dengan dugaan penyebaran narasi bernada permusuhan dan SARA.
"(Delapan orang yang ditangkap karena) memberikan informasi yang membuat rasa kebencian dan permusuhan terhadap individu atau kelompok berdasarkan SARA dan penghasutan," kata Awi kepada Kompas TV, Selasa (13/10/2020).
Baca Juga: Polisi Tetapkan Petinggi KAMI Jadi Tersangka dan Langsung Ditahan di Bareskrim Mabes Polri
Penulis : fadhilah
Sumber : Kompas TV