> >

Presiden Jokowi: Isu Demo UU Cipta Kerja Banyak Tidak Benar

Politik | 9 Oktober 2020, 19:05 WIB
Konferensi Pers Presiden Jokowi di Istana Bogor mengenai demonstrasi UU Cipta Kerja. (Sumber: Youtube Setpres.)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengklarifikasi sejumlah isu atau kabar tidak benar sehingga memicu demonstrasi penolakan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (UU Cipta Kerja).

Pernyataan Presiden Jokowi ini disampaikan dalam konferensi pers secara virtual dari Istana Bogor, Jumat (9/10/2020).

"Saya melihat adanya unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja yang pada dasarnya dilatarbelakangi adanya disinformasi mengenai substansi dari UU ini, dan hoaks di media sosial," kata Presiden Jokowi.

Presiden Jokowi pun menyebutkan satu per satu kabar-kabar tidak benar mengenai substansi UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan yang beredar di masyarakat.

Pertama mengenai penghapusan upah minimum provinsi (UMP), upah minimum kota/kabupaten (UMK), upah minimum sektoral provinsi (UMSP). "Hal ini tidak benar. Karena faktanya, UMR tetap ada," kata Jokowi.

"Ada juga yang menyebutkan upah minimum dihitung per jam. Ini juga tidak benar," lanjutnya.

Menurutnya, tidak ada perubahan dengan sistem yang sekarang. Upah bisa dihitung berdasarkan waktu dan berdasarkan hasil.

Kemudian mengenai kabar semua cuti dihapuskan dan tidak ada kompensasi, Jokowi menegaskan kabar ini tidak benar. "Saya tegaskan, ini tidak benar. Hak cuti tetap ada dan dijamin."

Mengenai perusahaan yang bisa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak, dibantah Presiden Jokowi. "Ini juga tidak benar. Yang benar, perusahaan tidak bisa mem-PHK secara sepihak."

Kabar yang tidak benar lainnya dalam klaster ketenagakerjaan UU Cipta Kerja adalah mengenai jaminan sosial. "Benarkah jaminan sosial dan kesejahteraan lainnya hilang? Yang benar, jaminan sosial tetap ada," katanya.

Baca Juga: Tak Puas UU Cipta Kerja, PBNU Kawal Berbagai Pihak yang Tempuh Jalur Uji Materi ke MK

Pasal-Pasal Kontroversial di Bab Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja

Meski mendapat penolakan dari seluruh lapisan masyarakat, DPR bersama pemerintah tetap mengesahkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi Undang-undang pada Senin, 5 Oktober 2020.

Diketahui, UU Cipta Kerja terdiri atas 15 bab dan 174 pasal. Di dalamnya, mengatur mengenai ketenagakerjaan hingga lingkungan hidup.

Dilansir dari Kompas.com, beberapa pasal dalam Undang-undang Cipta Kerja Bab IV tentang Ketenagakerjaan dinilai bermasalah dan kontroversial. Itu di antaranya sebagai berikut:

Pasal 59

UU Cipta Kerja menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.

Pasal 59 ayat (4) UU Cipta Kerja menyebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan peraturan pemerintah.

Sebelumnya, UU Ketenagakerjaan mengatur PKWT dapat diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.

Ketentuan baru ini berpotensi memberikan kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas.

Pasal 79

Hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan dipangkas.

Pasal 79 ayat (2) huruf (b) mengatur, pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan.

Selain itu, Pasal 79 juga menghapus kewajiban perusahaan memberikan istirahat panjang dua bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan berlaku tiap kelipatan masa kerja enam tahun.

Pasal 79 ayat (3) hanya mengatur pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus.

Pasal 79 Ayat (4) menyatakan, pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Kemudian, Pasal 79 ayat (5) menyebutkan, perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

UU Cipta Kerja juga mengubah kebijakan terkait pengupahan pekerja.

Pasal 88 Ayat (3) yang tercantum pada dalam Bab Ketenagakerjaan hanya menyebut tujuh kebijakan pengupahan yang sebelumnya ada 11 dalam UU Ketenagakerjaan.

Tujuh kebijakan itu, yakni upah minimum; struktur dan skala upah; upah kerja lembur; upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu; bentuk dan cara pembayaran upah; hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.

Beberapa kebijakan terkait pengupahan yang dihilangkan melalui UU Cipta Kerja tersebut, antara lain upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, upah untuk pembayaran pesangon, serta upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

Pasal 88 Ayat (4) kemudian menyatakan, "Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dengan Peraturan Pemerintah".

Baca Juga: Ini Identitas Kelompok Massa Perusuh di Demo Tolak UU Cipta Kerja

Pasal-Pasal UU Ketenagakerjaan yang Dihapus

Aturan mengenai sanksi bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan dihapus lewat UU Cipta Kerja.

Pasal 91 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian Pasal 91 ayat (2) menyatakan, dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain tercantum pada Pasal 91, aturan soal larangan membayarkan besaran upah di bawah ketentuan juga dijelaskan pada Pasal 90 UU Ketenagakerjaan.

Namun, dalam UU Cipta Kerja, ketentuan dua pasal di UU Ketenagakerjaan itu dihapuskan seluruhnya.

Selain itu, UU Cipta Kerja menghapus hak pekerja/buruh mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK) jika merasa dirugikan oleh perusahaan.

Pasal 169 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan, pekerja/buruh dapat mengajukan PHK kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika perusahaan, di antaranya menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam.

Pengajuan PHK juga bisa dilakukan jika perusahaan tidak membayar upah tepat waktu selama tiga bulan berturut-turut atau lebih.

Ketentuan itu diikuti ayat (2) yang menyatakan pekerja akan mendapatkan uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa kerja satu kali, dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156.

Namun, Pasal 169 ayat (3) menyebutkan, jika perusahaan tidak terbukti melakukan perbuatan seperti yang diadukan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, hak tersebut tidak akan didapatkan pekerja.

Pasal 169 ini seluruhnya dihapus dalam UU Cipta Kerja.

Penulis : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV


TERBARU