Mengenal Omnibus Law RUU Cipta Kerja: Proses Cepat, Suara Rakyat Diabaikan
Peristiwa | 5 Oktober 2020, 12:53 WIBKOMPAS.TV - Rapat kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan pemerintah telah menyepakati Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja untuk disetujui menjadi Undang-Undang (UU) dalam Rapat Paripurna.
Pada rapat terebut sebanyak tujuh fraksi telah menyetujui RUU Cipta Kerja disahkan, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Sementara dua partai yang menolak adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat.
Pembahasan RUU Cipta Kerja terbilang singkat dibandingkan dengan pembahasan RUU lain. Terlebih lagi, RUU yang masuk omnibus law ini tetap dibahas meskipun di tengah pandemi virus corona.
Baca Juga: Apa Itu Omnibus Law yang Jadi Kontroversi hingga Buruh Menolak Mati-matian?
Apa Itu Omnibus Law?
Dalam beberapa waktu terakhir, omnibus law memicu banyak perdebatan di tingkat nasional.
Istilah omnibus law di Indonesia pertama kali akrab di telinga setelah pidato pelantikan Presiden Joko Widodo pada Oktober 2019 lalu.
Omnibus law ini sejatinya lebih banyak kaitannya dalam bidang kerja pemerintah di bidang ekonomi.
Yang paling sering jadi polemik, yakni ombinibus law di sektor ketenagakerjaan yakni UU Cipta Lapangan kerja.
Sebagaimana bahasa hukum lainnya, omnibus berasal dari bahasa latin omnis yang berarti banyak. Artinya, omnibus law bersifat lintas sektor yang sering ditafsirkan sebagai UU sapujagat.
Ada tiga hal yang disasar pemerintah, yakni UU cipta lapangan kerja, UU perpajakan, dan pemberdayaan UMKM.
Namun demikian, RUU Cipta Kerja jadi RUU yang paling banyak jadi sorotan publik.
Selain dianggap banyak memuat pasal kontroversial, RUU Cipta Kerja dinilai serikat buruh hanya mementingkan kepentingan investor.
Secara substansi, RUU Cipta Kerja adalah paket Omnibus Law yang dampaknya paling berpengaruh pada masyarakat luas, terutama jutaan pekerja di Indonesia.
Hal ini yang membuat banyak serikat buruh mati-matian menolak RUU Cipta Kerja. Sejumlah serikat buruh bahkan akan menggelar aksi mogok kerja nasional pada 6 - 8 Oktober 2020 mendatang.
Baca Juga: Serikat Buruh: Mogok Kerja Nasional Dilakukan di Lingkungan Perusahaan dengan Protokol Kesehatan
Proses Cepat 'Kejar Tayang'
Pemerintah dan DPR juga dianggap 'kejar tayang' menyelesaikan Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Pasalnya, pembahasan RUU Cipta Kerja oleh pemerintah dan DPR ini terbilang kilat dibandingkan dengan pembahasan RUU lain.
Bahkan, awalnya RUU Cipta Kerja bisa selesai sebelum 17 Agustus meskipun di tengah pandemi Covid-19. Dikebutnya pembahasan RUU ini diklaim demi kemudahan investasi di Indonesia.
Sidang-sidang pembahasannya dilakukan siang malam bahkan hingga larut malam, meskipun dibahas di tengah masa reses dan pandemi.
Pemerintah dan Baleg DPR RI memang sempat menunda pembahasan Klaster Ketenagakerjaan ini setelah mendapat perintah resmi dari Presiden Joko Widodo pada 24 April lalu.
Hal ini untuk merespons tuntutan buruh yang keberatan dengan sejumlah pasal dalam klaster tersebut.
Sementara dalam prosesnya, tak ada perbedaan dengan proses pembuatan UU pada umumnya sebagaimana yang dibahas di DPR.
Namun, isinya tegas mencabut atau mengubah beberapa UU yang terkait. Sektor ketenagakerjaan menjadi salah satu yang diselesaikan melalui omnibus law.
Di sektor ketenagakerjaan, pemerintah berencana menghapuskan, mengubah, dan menambahkan pasal terkait dengan UU Ketenagakerjaan.
Selain itu, pemerintah merencanakan penghapusan skema pemutusan hubungan kerja (PHK), di mana terdapat penghapusan mengenai hak pekerja mengajukan gugatan ke lembaga perselisihan hubungan industrial.
Baca Juga: RUU Cipta Kerja Siap Disahkan di Paripurna, Fraksi PKS dan Demokrat Menolak!
Abaikan Kepentingan Rakyat
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana menyebutkan, pembentukan omnibus law RUU Cipta Kerja sangat mengabaikan kepentingan rakyat.
Proses pembentukan RUU ini dilaksanakan secara tertutup, sembunyi-sembunyi, serta diskriminatif karena hanya melibatkan kelompok pengusaha dan sebaliknya mengabaikan warga.
DPR disebut bukan lagi wakil rakyat, melainkan wakil pemodal dan pengusaha.
"Kita melihat yang duduk di Senayan sana hari ini bukan wakil-wakil rakyat, tapi mereka adalah wakil-wakil pengusaha. Bukan wakil-wakil rakyat, tetapi mereka adalah wakil-wakil pemodal," kata Arif dalam sebuah konferensi pers daring, Minggu (4/10/2020), dikutip dari Kompas.com.
Menurut dia, omnibus law RUU Cipta Kerja akan berdampak luas pada berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu, ia berpendapat, RUU Cipta Kerja merupakan bentuk kejahatan konstitusi.
Fakta Omnibus Law
Berikut fakta-fakta omnibus law sebagaimana dikutip dari Kompas.com:
Penulis : fadhilah
Sumber : Kompas TV