IKOHI Protes Keras Keputusan Jokowi yang Angkat Eks Tim Mawar Jadi Pejabat: Menambah Luka
Peristiwa | 28 September 2020, 16:23 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyetujui usulan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk mengangkat dua mantan anggota Tim Mawar menjadi pejabat di lingkungan Kementerian Pertahanan (Kemenhan).
Keputusan tersebut sontak memantik polemik bahkan dinilai telah menyakiti keluarga korban penculikan.
Salah satunya dikatakan Sekretaris Jenderal Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Zaenal Muttaqin.
Baca Juga: Jokowi Kabulkan Permintaan Prabowo, Tunjuk Eks Tim Mawar Jabat di Kemenhan
Dia menilai bahwa keputusan Presiden tersebut telah menambah luka keluarga korban yang selama dua lebih dari dekade tak kunjung mendapatkan keadilan.
"Dengan keputusan ini menjadi tamparan keras, menambah luka bagi keluarga korban," ujar Zaenal dalam konferensi pers virtual, Minggu (27/9/2020), dikutip dari Kompas.com.
Padahal, menurut Zaenal, banyak dari keluarga korban yang memberikan dukungan pencalonan Jokowi menjadi presiden pada dua periode sekaligus, yakni saat Pilpres 2014 dan Pilpres 2019.
Dukungan itu diberikan semata-mata tak ingin Indonesia dipimpin oleh Prabowo, orang yang diduga menjadi dalang penculikan anggota keluarganya pada pengujung kekuasaan rezim Orde Baru.
Namun demikian, keluarga korban mulai kecewa ketika Jokowi menunjuk Prabowo menjadi Menteri Pertahanan, yang disusul dengan bekas anak buahnya di Tim Mawar merangsek ke kekuasaan.
"Keluarga korban sudah mendukung Jokowi karena tidak ingin orang yang terduga kuat sebagai pelaku penculikan menjadi presiden," kata Zaenal.
"Ini luka yang kemudian disiram air cuka, sungguh kami sesalkan, tentu mengecam keras," ujar Zaenal.
Baca Juga: Jokowi Setujui Usulan Prabowo Subianto, 2 Eks Tim Mawar Ditunjuk Jadi Pejabat Kemhan
Dua Eks Anggota Tim Mawar
Diketahui, Tim Mawar merupakan Grup IV Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD yang dipimpin Prabowo Subianto saat masih menjabat Komandan Kopassus.
Prabowo yang kini menjabat Menhan baru-baru ini mengusulkan dua eks anggota tim mawar sebagai pejabat Kemenhan dan disetujui Presiden Jokowi lewat Keputusan Presiden RI Nomor 166/TPA Tahun 2020.
Keduanya yakni Brigjen TNI Yulius Selvanus dan Brigjen TNI Dadang Hendrayudha.
Dadang Hendrayudha saat ini menjabat Kepala Biro Umum Sekretariat Utama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Ia dipercaya menjadi Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Kemenhan dengan menggantikan Prof Bondan Tiara Sofyan.
Sementara itu, Yulius Selvanus saat ini menjabat Komandan Korem (Danrem) 181/Praja Vira Tama yang akan menggantikan Mayjen TNI (Mar) Joko Supriyanto sebagai Kepala Badan Instalasi Strategis Pertahanan Kemenhan.
Zaenal menilai, Dadang Hendrayudha dan Yulius Selvanus tak pantas mengemban jabatan strategis di pemerintahan.
Alasannya, kedua nama tersebut sebelumnya tersandung kasus pelanggaran HAM.
Oleh karena itu, kata Zaenal, Dadang Hendrayudha dan Yulius Selvanus tak pantas menentukan masa depan arah bangsa melalui kedudukan yang akan diembannya.
"Kami bukan hanya sekadar meminta Keppres itu harus dicabut, enggak penting atau membatalkan," kata Zaenal.
"Yang dilakukan itu lebih sekadar mengabaikan pelanggar HAM yang harus diadili secara fair, mereka tidak boleh menentukan masa depan arah bangsa, kita enggak boleh diatur oleh pelanggar HAM," sambungnya.
Di samping itu, lanjut Zaenal, keputusan Jokowi tersebut telah mengabaikan tuntutan keadilan yang selama ini telah disuarakan keluarga korban.
Dengan keputusan ini, ia mengaku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi ketika negara dibangun tanpa ditopang kepastian hukum yang adil.
Baca Juga: Eks Tim Mawar di Kemenhan, Amnesty: Jokowi dan DPR Makin Dinilai Langgar Janji
Persulit Penyelidikan Kasus HAM Masa Lalu
Sementara itu, Amnesty Internasional Indonesia menilai, pengangkatan Dadang Hendrayudha dan Yulius Selvanus akan semakin menyulitkan penyelidikan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
"Keputusan Presiden ini mempersulit upaya penyelidikan segala kejahatan kemanusiaan di masa lalu," ujar Koordinator Kampanye Amnesty International Indonesia Novel Matindas.
Novel menyebutkan, Presiden seharusnya mendukung pengusutan pelanggaran HAM masa lalu, bukan justru mengangkat para pelaku menjadi pejabat publik.
Dengan keputusan tersebut, kata dia, Presiden sudah mengambil pilihan yang membuat langkah bangsa Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
"Sekali lagi saya tegaskan, keputusan Presiden membuat upaya penyelidikan kasus HAM menjadi sulit," ucap Novel.
Baca Juga: Amnesty Internasional Soroti Eks Tim Mawar di Kementerian Pertahanan
Tanggung Jawab Pemerintah
Hal senada juga dikatakan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Fatia Maulidiyanti.
Dia menyatakan, pemerintah tidak boleh berpaling dari tanggung jawabnya untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Apalagi, penuntasan kasus pelanggaran HAM tersebut menjadi salah satu janji Jokowi dalam kampanyenya.
"Indonesia harus segera mengimplementasikan komitmen yang dikeluarkan di forum internasional maupun bagaimana sebenarnya janji manis pada kampanye ketika Jokowi mengutarakan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu akan diselesaikan pada era kepemimpinannya," ucap Fatia.
Baca Juga: Ini Sejarah Tim Mawar
Divonis Kasus Penculikan
Berdasarkan catatan Kontras, Brigjen TNI Yulius Selvanus dan Brigjen TNI Dadang Hendrayudha merupakan anggota eks Tim Mawar yang ketika itu berpangkat kapten melakukan operasi penculikan dan penghilangan paksa terhadap aktivis pada era Orde Baru.
Atas tindakannya itu, melalui Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) II Jakarta, Yulius Selvanus dihukum 20 bulan penjara dan dipecat dari dinas ABRI.
Sementara itu, Dadang Hendrayudha dihukum 16 bulan penjara tanpa pemecatan.
Namun, dalam putusan tingkat banding, pemecatan terhadap Yulius Selvanus dianulir oleh hakim, sehingga keduanya masih menjabat aktif sebagai anggota militer.
Fatia menganggap, bergabungnya kedua anggota eks anggota Tim Mawar tersebut, ditambah Prabowo yang menjadi Menteri Pertahanan, menunjukkan tidak berjalannya mekanisme vetting dalam tubuh pemerintahan.
Hal itu juga menambah daftar panjang lembaga-lembaga negara yang diisi oleh orang-orang yang memiliki masalah dalam pelanggaran HAM masa lalu.
"Selain berpotensi untuk melemahkan makna penegakan hukum di Indonesia (impunitas), hal tersebut juga dapat mendorong terjadinya kembali pelanggaran HAM," kata Fatia.
Baca Juga: Dewan Pers Mediasi Tempo dan Eks Komandan Tim Mawar
Penulis : fadhilah
Sumber : Kompas TV