> >

Angka Penyakit Jantung pada Usia Muda Terus Bertambah

Kesehatan | 7 Oktober 2024, 19:16 WIB
Ilustrasi serangan jantung (Sumber: Shutterstock/thebigland)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Gaya hidup dan pola konsumsi tidak sehat membuat anak muda Indonesia semakin rentan terhadap penyakit jantung.

Satu dekade terakhir, pasien muda tumbuh lebih cepat ketimbang kelompok yang lebih tua dengan usia diagnosis juga semakin muda.

Analisis Tim Jurnalisme Data Kompas, rata-rata usia ”didiagnosis pertama penyakit jantung” makin muda, dari 48,5 tahun pada 2013 menjadi 43,2 pada 2023.

Analisis tersebut merujuk pada olahan data mikro Survei Kesehatan Indonesia 2023 dan Riset Kesehatan Dasar 2013.

Mengutip Kompas.id, selama 10 tahun terakhir, ”usia diagnosis pertama” 5,4 tahun lebih muda.

Hasil ini sejalan dengan fenomena meningkatnya kasus penyakit jantung prematur pada pria di bawah 45 tahun dan wanita di bawah 55 tahun.

Baca Juga: Benarkah Kurang Minum Air Putih Bisa Sebabkan Stroke?

Prevalensi penyakit jantung melonjak lebih dari dua kali lipat selama 10 tahun terakhir.

Pada 2023, ada 1,08 persen atau 2,29 juta orang dari total 212,6 juta penduduk berusia 15 tahun ke atas yang menderita jantung.

Jumlah ini naik 120,6 persen dari 2013 yang hanya 0,49 persen atau sekitar 855.000 orang dari 174 juta penduduk.

Analisis Kompas terhadap data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan 2020-2023 menunjukkan jumlah pasien jantung usia 45 tahun ke bawah tumbuh 66 persen, lebih cepat dibandingkan dengan kelompok usia 46 tahun ke atas yang tumbuh 52 persen.

Data BPJS Kesehatan, hingga Juni 2024, sudah ada 1,84 juta pasien jantung yang mengunjungi fasilitas kesehatan tingkat pertama, seperti puskesmas, klinik, dan praktik dokter. 

Jumlah ini hampir menyamai total pasien tahun 2022 sebanyak 1,9 juta dan melampaui tahun 2020 (1,62 juta pasien) serta 2021 (1,69 juta pasien).

Dengan demikian, jumlah penderita jantung berlipat ganda dalam waktu hanya lima tahun.

Presenter Dave Hendrik (47) adalah salah seorang yang terkena penyakit jantung prematur, 45 tahun, pada April 2023.

Saat itu, seusai pengambilan gambar untuk acara yang dipandunya, Dave merasakan dadanya seperti terbakar.

Gejala ini terus berulang seharian. Malam harinya, ia ke rumah sakit.

Diagnosis dokter bak suara palu godam yang menggedor gendang telinganya.

Sensasi terbakar di dada yang ia alami sebenarnya adalah serangan jantung.

Dari hasil pemeriksaan, ada sumbatan di tujuh titik pembuluh darah yang menuju jantung Dave akibat timbunan kolesterol.

”Saat dada saya dibuka untuk operasi bypass, ternyata ada sembilan sumbatannya,” ujarnya, Kamis (5/9/2024), di Jakarta. 

Dave tidak dapat menahan rasa kecewa pada diri sendiri. Selama ini, ia merasa sudah hidup sehat.

Sejak 20 tahun sebelumnya, ia rutin berolahraga dan menjaga pola makan.

Hanya saja, ia memang pernah obesitas. Berat badannya sempat mencapai 90 kilogram (kg). Ia kemudian diet dan setiap hari berolahraga 1-2 jam.

Secara bertahap ia kembali ke berat idealnya, sekitar 72 kg.

Rupanya, meski berat badan sudah ideal, kadar kolesterolnya masih tinggi.

Kadar kolesterolnya 210 mg/dL saat terjadi serangan. Batas normal adalah 200 mg/dL.

”Dokter menyarankan kolesterol saya di bawah 110 karena tubuh saya tidak bisa menoleransi kolesterol tinggi. Sekarang masih 150,” ungkap Dave. 

Daging olahan dan makanan asin

Peningkatan kasus penyakit jantung di kelompok usia muda disebabkan beberapa faktor, antara lain gaya hidup. kurang gerak dan pola makan.

Analisis Kompas menunjukkan, antara 2013-2023 semakin banyak orang mengonsumsi makanan olahan hewani.

Pola konsumsi ini berpotensi meningkatkan penyakit jantung koroner, hipertensi, diabetes melitus, dan kanker.

Pada 2013, sebanyak 2,05 juta orang mengonsumsi makanan olahan hewani lebih dari sekali per hari.

Jumlah ini meningkat menjadi 5,43 juta orang per 2023. Adapun jumlah penduduk usia di atas 15 tahun yang sering mengonsumsi makanan asin meningkat dari 17,3 juta (9,9 persen populasi) pada 2013 menjadi 26,4 juta (12,42 persen) pada 2023. Disebut ”sering” jika konsumsi lebih dari sekali sehari. 

Di sisi lain, jumlah penduduk dengan kebiasaan berolahraga atau beraktivitas fisik berat pun menurun selama satu dekade terakhir.

Pada 2013, ada 109 juta orang atau sekitar 63 persen dari populasi yang mengakui tidak rutin beraktivitas fisik berat. Pada 2023, jumlahnya bertambah menjadi 145 juta orang (70 persen).

Kondisi ini memicu kenaikan kasus obesitas sentral alias perut buncit, yang ditandai dengan lingkar perut lebih dari 90 sentimeter (cm) untuk laki-laki dan 80 cm pada perempuan. Jumlah orang dengan obesitas sentral pada 2013 sebesar 40 juta orang (24 persen dari total populasi yang diukur lingkar pinggangnya). Pada 2023, jumlahnya mencapai 73,5 juta orang (37 persen).

Gen Z paling malas?

Di luar kelompok lansia, alasan yang paling banyak dikemukakan mereka yang tidak berolahraga adalah ”tidak ada waktu” (50,54 persen), malas (29,75 persen), tidak ada teman (9,2 persen), dan lain-lain (14,84 persen).

Dari kelompok yang menyatakan ”malas”, porsi terbesar adalah generasi Z (lahir 1997-2012) dengan proporsi 40,72 persen.

Disusul milenial (1981-1996) dengan 24,97 persen; generasi X (1965-1980) sebanyak 21,41 persen; baby boomer (1946-1965) sebesar 9,29 persen; dan pra-baby boomer atau silent generation dengan 3,61 persen.

Komposisi mirip terlihat untuk alasan ”tidak ada teman”.

Gen Z mendominasi dengan 36,36 persen, disusul milenial (23,71 persen), gen X (21,42 persen), baby boomer (11,09 persen), dan pra-boomer (7,42 persen).

Alasan ”tidak ada waktu”, mayoritas disumbang kelompok usia produktif, yakni milenial (32,64 persen), disusul gen X (29,34 persen), gen Z (25,08 persen), lalu baby boomer (9,82 persen), dan pra-boomer (3,12 persen). 

Mengendalikan risiko

Dokter spesialis jantung RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Ade Meidian Ambari mengakui, semakin banyaknya pasien muda datang ke poliklinik jantung.

Salah satu penyebabnya adalah pola makan tidak sehat, termasuk konsumsi makanan olahan.

”Proses aterosklerosis atau penyumbatan pembuluh darah sekarang banyak ditemui di usia yang lebih muda,” ujar Ade, mengutip Kompas.id.

Makanan olahan tinggi kadar garam berpotensi menyebabkan hipertensi.

Menurut Ade, hipertensi saat ini menjadi faktor risiko pertama penyakit jantung koroner di Indonesia. 

”Sekarang darah tinggi jadi risiko pertama mengalahkan merokok karena orang kita suka makanan asin, olahan dan awetan, seperti ikan asin dan mi instan. Saya berani bilang hampir 35 persen orang Indonesia menderita hipertensi,” kata Ade yang juga ketua terpilih Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.

Menurut dia, pemerintah perlu membuat aturan tentang batas kadar garam pada produk makanan mengingat konsumen utamanya adalah usia muda, termasuk anak-anak.

”Perlu ada aturan, produk makanan olahan nanti isinya harus begini, kadar garamnya segini, dan seterusnya,” katanya.

Generasi muda yang kurang aktif dan pola makan yang buruk bisa menjadi ”bom waktu” kesehatan, yang berpotensi membebani biaya kesehatan Indonesia. 

Selama satu dekade terakhir, pengeluaran terbesar BPJS Kesehatan dipakai untuk membayar biaya pelayanan kesehatan penyakit katastropik, termasuk jantung.

Pada 2023, sebanyak Rp 34,7 triliun habis untuk membayar biaya layanan tingkat lanjutan untuk penyakit katastropik.

Terbesar untuk penyakit jantung dengan total klaim mencapai Rp 23,5 triliun.

Nilai ini hampir sama dengan anggaran Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP) 2024 untuk SD (Rp 22,7 triliun) dan SLB (Rp 706,38 miliar).

Sebesar 67,3 persen dari total klaim jantung digunakan untuk pengobatan 2,75 juta pasien di fasilitas tingkat lanjut.

Lalu, senilai Rp 15,8 triliun atau 15 persen total beban BPJS Kesehatan sebesar Rp 158 triliun. 

Hingga Mei 2024, jumlah pasien penyakit jantung tercatat 1,89 juta orang dan diproyeksikan mencapai 4,5 juta orang pada akhir tahun.

Dengan menggunakan hitungan biaya per pasien pada 2023, setelah diekstrapolasikan, alokasi untuk pasien di fasilitas tingkat lanjut pada tahun 2024 diperkirakan dapat mencapai Rp 26,2 triliun dengan total klaim Rp 39 triliun.

”Ini seperti dua sisi mata uang bagi kami. Di satu sisi, makin banyak masyarakat dapat mengakses layanan kesehatan, di sisi lain beban biaya semakin meningkat. Ini jadi tugas kita bersama untuk mengendalikan angka penderita penyakit katastropik,” kata Kepala Humas BPJS Kesehatan Rizzky Anugerah. 

Baca Juga: Momen Oneng Jenguk Bang Juri, Rieke Diah Pitaloka Sukses Bikin Mat Solar Tersenyum

Merespons temuan ini, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmidzi mengatakan, pemerintah berupaya mengendalikan konsumsi gula, garam, dan lemak.

Langkah ini dilakukan melalui edukasi dan label warna pada makanan dan minuman olahan Front-of-Package Nutrition Labeling (FOPNL).

Penerapan label ini sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 28/2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Kesehatan. Tenggat penerapannya hingga 2026.

”Makanan minuman ditandai dengan warna merah dan kuning. Badan POM akan mengatur untuk makanan olahan. Label kadar gula juga akan ditampilkan sehingga masyarakat bisa menghitung konsumsi mereka,” kata Nadia.

Penulis : Ade Indra Kusuma Editor : Deni-Muliya

Sumber : Kompas TV


TERBARU