Kontroversi Hagia Sophia: Dari Museum ke Masjid
Opini | 25 Juli 2020, 18:13 WIBOleh: Ahmad Najib Burhani, peneliti di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
Ketika Masjid Babur di Ayodhya India dihancurkan oleh sekelompok umat Hindu pada 1992, berbagai protes dan bahkan kerusuhan komunal muncul. Umat Hindu meyakini bahwa masjid itu didirikan di lokasi tempat kelahiran Rama.
Di Spanyol, Masjid Cordoba diubah menjadi katedral sejak Reconquista. Meski ia dianggap sebagai World Heritage Site, ia tak berubah menjadi museum. Sebagai katedral, umat Islam dilarang beribadah atau ber-adzan di tempat itu. Sebelum berfungsi sebagai masjid pada masa kekuasaan Islam, tempat itu diyakini sebagai gereja. Di Palestina, kelompok radikal di Israel berusaha merubah Al-Aqsa menjadi temple. Kini, perubahan itu tinggal persoalan “waktu (when)” saja, bukan lagi sebagai “jika (if)”.
Apa yang terjadi di Hagia Sophia merupakan rentetan peristiwa perubahan fungsi tempat ibadah dari satu agama ke agama lain yang biasanya diiringi dengan protes atau bahkan konflik. Kemarin, Jumat (24/7), merupakan salat Jumat pertama di Hagia Sophia sejak tempat itu menjadi museum atau 86 tahun lalu.
Dalam pemberitaan, keputusan Presiden Erdogan untuk mengubah Hagia Sophia dari museum menjadi masjid itu merupakan upaya “to right historical wrongs” (membetulkan sejarah yang salah) dan “breaking away from its chains of captivity” (melepaskan Hagia Sophia dan belenggu yang mengekangnya).
Pemerintah melihat keputusan yang diambil pada 1934 untuk mengubah Hagia Sophia menjadi museum adalah pelanggaran hukum. Karena itu, Hagia Sophia harus dikembalikan fungsinya sebagai masjid sesuai dengan wasiat Sultan Mehmet II yang menaklukkan Istanbul pada 1453.
Logika dan landasan hukum perubahan status Hagia Sophia ini masih terus menjadi kontroversi. Namun yang jelas, perubahannya menjadi museum tahun 1934 dan kemudian berubah lagi menjadi masjid tahun 2020 ini adalah sebuah keputusan politik yang diambil oleh dua pemimpin kuat: Ataturk vs. Erdogan. Yang pertama merupakan simbol dari otoritarian-sekuler, sementara yang kedua adalah simbol otoritarian-relijius (Mucahit Bilici 2020).
Meskipun Hagia Sophia kini telah berubah menjadi masjid, namun Erdogan menegaskan bahwa Hagia Sophia akan tetap terbuka, inklusif, dan menyambut baik orang-orang dari semua kepercayaan atau keyakinan. Mungkin, ia akan difungsikan sama dengan Masjid-Katedral Cordoba. Perubahan paling menyolok adalah jika sebelumnya orang Islam tak boleh melakukan salat di Hagia Sophia, sekarang tempat itu malah menjadi masjid.
Oleh sebagian umat Islam, perubahan fungsi Hagia Sophia itu disambut gegap gempita dan suka cita. Namun banyak umat Kristiani, dan terlebih lagi mereka yang di Yunani, menyambutnya dengan kemarahan. Lonceng dibunyikan dan bendera dikibarkan setengah tiang di ratusan gereja di seluruh Yunani sebagai protes atas keputusan Erdogan itu. Para pemimpin gereja Ortodoks bahkan terus melakukan doa sepanjang malam dan menyebut Jumat kemarin sebagai “hari berkabung”.
Berbagai kelompok yang mendukung kebijakan Erdogan itu menganggap apa yang dilakukannya adalah bagian dari sovereignty (kedaulatan) Turki. Ini soal kekuasaan mereka sendiri mau tetap menjadikan Hagia Sophia sebagai museum atau masjid. Apa yang dilakukan Erdogan itu menunjukkan Turki berdaulat penuh, tidak dikontrol atau dalam bayang-bayang kekuasaan negara lain. Toh kenyataannya banyak yang memprotes perubahan fungsi Hagia Sophia itu tidak protes dengan status Masjid-Katedral Cordoba tetap menjadi katedral, bukan museum.
Sementara mereka yang menentang menyebut keputusan yang dilakukan Erdogan itu bisa menimbulkan sikap yang serupa di India, Israel, dan negara lain. Israel, misalnya, kini memiliki justifikasi untuk mengubah Al-Aqsa menjadi tempat ibadah Yahudi.
Penulis : Zaki-Amrullah
Sumber : Kompas TV