Hoax Pak Haedar Menjadi Mendikbud, Mengapa Muncul Lagi?
Opini | 4 Juli 2020, 16:36 WIBSependek pengetahuan saya, Pak Haedar tidak akan pernah memilih dunia politik praktis di pemerintahan sebagai alat perjuangannya. Hal ini bukan berarti beliau anti-jabatan, apalagi anti-pemerintah dan anti-politik. Beliau mendorong kader-kader Muhammadiyah untuk berkiprah di medan perjuangan politik. Tetapi, tidak menjadikan Muhammadiyah sebagai alat perjuangan politik praktis, apalagi sikap partisan mengatasnamakan Muhammadiyah.
Memahami Karakter Informasi, Fakta atau Hoax?
Laju isu di media sosial bagitu dinamis, dan sering kali ugal-ugalan. Kita bisa tersesat, bahkan jatuh ke jurang jika tidak memahami karakter persebaran informasi dengan baik. Susah sekali mengendalikan isu yang liar, mulai dari kesehatan, bencana, agama, hingga isu reshuffle. Yang benar dan salah, nyaris tak ada bedanya.
Nah, bagaimana cara mengidentifikasi suatu isu benar atau salah? Atau bagaimana harusnya kita menyikapinya. Sebenarnya banyak alat dan cara untuk mengecek apakah berita dan informasi itu hoax atau fakta. Darimana awal penyebarannya sampai sejauh mana persebarannya. Tetapi itu perlu latihan khusus, maka saya tidak akan bicara di sini. Saya hanya akan menjelaskan beberapa hal di sini terkait pesan informasi.
Pertama, kita harus memiliki critical thingking (berpikir kritis). Dahulukan nalar kritis daripada perasaan. Jangan mudah menerima informasi jika itu sesuai selera dan perasaan kita. Sebaliknya menolak informasi jika kita membencinya. Jadi tolok ukurnya bukan perasaan, tetapi nalar kritis.
Kedua, setelah berpikir kritis, maka kita bertanya: benar atau tidak? Baru kemudian mencari tahu sumbernya, siapa pembawa pesan dan penyampai pesan itu? Nah, jika tak ada sumbernya maka wajib ditolak. Jangan urusan hadis Nabi Muhammad Saw, kita kencang sekali harus shahih, tetapi urusan informasi tidak. Medsos itu sumber yang lemah sekali, apalagi jika tidak ada linknya. Kita perlu naik kelas, dari membaca status, informasi tanpa sumber menjadi-- biasakan membaca yang jelas sumbernya. Jelas sanadnya. Minimal membaca artikel dari situs-situs keislaman dengan sumber yang jelas dan penulis yang otoritatif. Syukur-syukur membaca buku dan jurnal ilmiah.
Ketiga, jika ada sumber atau link yang otoritatif, baru dishare dan disebarkan. Jadi kita harus biasa menyebar informasi yang ada sumbernya, lebih-lebih sumber yang resmi. Jadi selain percaya pada Sumber Al-Quran dan Hadis, kita juga harus percaya pada otoritas. Otoritas ini bisa pemerintah, ilmuwan (pakar), atau institusi.
Terakhir, hal yang penting sekali adalah sikap bijak. Jangan sampai informasi belum pasti benar sudah menjadikan sikap kita tidak bijak. Misalnya kasus Pak Haedar diisukan jadi Mendikbud, kita sudah berpikir negatif, menuduh Pak Haedar yang macam-macam. Maka bagi seorang muslim kita perlu tabayun. Cek dan seleksi setiap informasi dengan kritis, cerdas, dan beretika tinggi.Dalam terjemahan QS Az-Zumar: 18, dikatakan “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS Az-Zumar: 18).
Tidak cukup dengan tabayun, khusnudzan dalam arti berpikir positif menjadi etika penting dalam bermedia sosial dan menerima informasi. Demikian, semoga kita termasuk orang-orang yang selalu mendapatkan petunjuk. Aamiin..
Penulis : Zaki-Amrullah
Sumber : Kompas TV