> >

Rapor Polri 2020: Antara Pandemi dan Suara Netizen

Opini | 1 Juli 2020, 06:00 WIB
Kapolri Jenderal Idham Azis (tengah) bersama jajarannya di Jakarta (Sumber: Humas Polri)

Pada saat yang sama, pendekatan Polri pada media sosial juga menguat. Media sosial adalah sebuah respons langsung yang dimunculkan oleh masyarakat atas segala sesuatu yang dilihat, dipikirkan, dan dirasakan. Polri mendekatkan diri ke masyarakat melalui berbagai platform—Twitter, Instagram, Facebook, dan YouTube. Dengan cara ini Polri bisa mendengar keluhan masyarakat dan memberikan informasi secara massif.

Akun @tmcpoldametro di Twitter, dengan 7,8 juta pengikut, misalnya, adalah salah satu tempat milenial mencari informasi dan curhat soal kondisi jalanan atau kemacetan. Sesekali, akun ini memakai bahasa anak galau seperti “Tidak mudik bukan berarti tidak rindu, tetapi kamu sayang dan peduli.” #DirumahAja,  #KamiBekerjaUntukKamu. Ada juga akun @divHumas_Polri dengan 1,4 juta pengikut yang lebih sering dicolek oleh netizen yang mau memberi informasi, menyangkal, mengkritik Polri, termasuk juga urusan marah-marah pada keadaan politik. 

Dalam analisis Indonesia Indicator, persepsi media melalui pemberitaan media online sejauh ini senantiasa selaras dengan persepsi kepuasan publik terhadap Polri. Hal ini menunjukkan bahwa strategi manajemen media tepat dalam mengelola persepsi publik. Strategi yang dimulai sejak kepemimpinan Tito Karnavian pada akhir 2016 ini kian dikuatkan pada masa Kapolri Idham Aziz. Tren sentimen negatif yang kerap mendominasi pemberitaan Polri sejak Januari 2012 hingga 2016 berubah menjadi tren positif sejak November 2016 hingga saat ini. Di media, kita bisa melihat bahwa angle pemberitaan media tentang kinerja Polri lebih banyak menunjukkan kecederungan dengan judul yang positif. 

Pengelolaan persepsi tidak bisa dilepaskan dari pembenahan di internal Polri. Dari pembenahan itu, publik akan melihat, merasakan, mendengarkan dan menafsirkan seperti apa persepsi mereka terhadap Polri. Menjaga isu dan reputasi Polri dengan pemberitaan yang sangat besar setiap bulannya (bisa mencapai 68 ribu berita/bulan) memerlukan upaya yang tidak ringan. Demikian pula untuk menghadapi cuitan netizen di medsos baik di Twitter, Instagram, YouTube,  yang semakin hari jumlahnya semakin besar dan beberapa memojokkan Polri. Sebagai ilustrasi, respons di twitter yang ditujukan pada Polri setiap bulan selalu di atas 100 ribu percakapan – di luar akun-akun Polri yang cukup aktif.

Tak jarang, Polri berhadapan dengan sejumlah isu besar yang diramaikan media karena lebih pada sisi persepsional ketimbang isu faktual. Persepsional biasanya cukup menyita perhatian publik karena isunya dianggap sensitif atau dibingkai sensitif. Dalam kasus besar dan persepsional seperti kasus penistaan agama dan Pilpres, misalnya, terlihat upaya Polri untuk terus memantau dan mengomunikasikan apa yang telah dilakukan oleh Polri secara transparan. Harapannya, publik akan lebih tenang karena selalu mendapat data terdepan serta informasi dari sumber yang terpercaya. Polri harus pandai-pandai memilah mana cuitan yang voice, mana kicauan yang noise; mana isu yang diangkat oleh buzzer atau robot untuk kepentingan tertentu, atau isu yang murni dari keresahan masyarakat. Akan fatal bagi kepolisian jika sampai menegakkan hukum karena ikut penghakiman warganet.

Rapor Polri 2020 

Sampai tulisan ini dibuat (29 Juni 2020), pada tahun ini Polri disebut dalam 331.308 berita dari 2.647 media online berbahasa Indonesia; 57%  berita berisi pemberitaan mengenai peran Polri dalam penanganan Covid-19.  Isu yang muncul antara lain adalah Maklumat Kapolri perihal kerumunan, protokol kesehatan, bantuan beras, pengawalan Bansos dan BLT, dapur umum bersama TNI, hingga Operasi Ketupat. Isu-isu ini banyak mendapatkan atensi positif di media dan masyarakat. 

Di Twitter, peran Polri dalam penanganan Covid-19 terbaca intens, mulai kegiatan penyemprotan disinfektan, patroli membubarkan kerumunan, pendirian check point, pembangunan dapur umum, dan pembagian sembako kepada masyarakat terdampak. Cuitan mengenai penyaluran Bansos dan pendirian Dapur Umum marak dibagikan netizen seiring dengan kegiatan yang serentak diadakan hingga ke tingkat Polres. Kegiatan ini mendapatkan apresiasi positif dari netizen yang ditunjukkan dengan tingginya emosi Trust dan Anticipation – dalam hal ini berisi harapan. Temuan survei dari Indikator Politik Indonesia awal Juni lalu menunjukkan bukti, bahwa 80,7 persen responden menyatakan puas atas kinerja Polri dalam membantu kebijakan penanganan pandemi Covid-19. 

Isu lain yang berkembang terkait Polri di media adalah penangkapan kasus narkoba. Pernyataan tegas Kapolri agar anggota tak segan menembak mati bandar narkoba membuat penanganan kasus narkoba menjadi lebih kuat. Sampai Juni 2020, Polri mencatat berbagai prestasi, semisal menggagalkan penyelundupan sabu seberat 1,15 ton, penggerebekan bandar di Sukabumi dengan 359, 57 kg sabu, penemuan sabu seberat 797,11 kg di Serang Banten, dan masih banyak lagi. Penanganan banjir, persiapan Pilkada serentak, Karhutla, dan Papua juga menjadi isu besar, dan semuanya mendapatkan tanggapan yang sebagian besar positif. Namun, polisi masih dapat rapor merah, misalnya untuk kasus Novel Baswedan, Harun Masiku, dan penangkapan aktivis. Untuk berita-berita dengan framing negatif ini, angkanya sebanyak 21%.  Dengan kata lain, rapor Polri untuk 2020 sejauh ini adalah 79 dari angka 100. 

Sementara itu, di media sosial rapornya sedikit berbeda. Sentimen negatif lebih besar, 23%. Hal ini menunjukkan bahwa agenda media dan agenda media sosial sama, tetapi memiliki tingkat perhatian yang berbeda. Sepanjang 1 Januari -29 Juni 2020 terdapat sebanyak 1.766.022 percakapan dari 667.398 akun non-Polri di twitter. Penghitungan ini sengaja dipisahkan untuk mengetahui respons masyarakat pada Polri secara keseluruhan, mengingat akun-akun Polri cukup aktif dalam menyosialisasikan kebijakan Polri, dari level nasional hingga level polsek. 

Isu terbesar di Twitter adalah penanganan dan informasi terkait Covid-19. Di sini terlihat bagaimana Polri menjadi salah satu rujukan, solusi, sekaligus sasaran keingintahuan hingga kejengkelan atas berbagai isu terkait penanganan dan kebijakan pemerintah terkait Covid-19. Lalu isu terbesar berikutnya di Twitter adalah isu kriminalitas, kemanusiaan, terorisme, radikalisme, penangkapan aktivis, Papua, dan Novel Baswedan. Beberapa isu terakhir inilah yang menyumbang untuk framing negatif Polri pada tahun ini.

Melalui sistem Intelijen Perception Analysis (IPA), terlihat bahwa isu Polri direspons oleh netizen milenial sebanyak 83,4% persen. Dari sisi gender, terdapat 58,2% netizen laki-laki, dan 41,8% netizen perempuan, dengan persebaran lokasi yang hampir menyeluruh. Emosi yang dimunculkan adalah Anticipation dan Trust. Beberapa emosi disgust atau marah dari netizen sempat muncul, semisal untuk kasus pernikahan Kapolsek di sebuah hotel mewah (sempat menjadi trending topic), Ravio Patra, Novel Baswedan, dan isu Papua. Inti dari emosi ini adalah adanya ketidakpuasan dari netizen atas penanganan Polri. Artinya, masih ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.

Saat ini, dengan tantangan yang makin kompleks, Polri harus semakin responsif dalam melayani masyarakat, lebih terbuka, transparan, dan tampil lebih muda dan humanis. Kapolri Idham Azis sudah memulai dengan mengarahkan seluruh anggotanya untuk bersama-sama membangun institusi Polri yang makin berdaya. Upaya untuk terus memperbaiki diri dan menjaga amanah di internal Polri tentu sangat perlu kita apresiasi.

Selamat Hari Bhayangkara! 

Penulis : Zaki-Amrullah

Sumber : Kompas TV


TERBARU