> >

Rapor Polri 2020: Antara Pandemi dan Suara Netizen

Opini | 1 Juli 2020, 06:00 WIB
Kapolri Jenderal Idham Azis (tengah) bersama jajarannya di Jakarta (Sumber: Humas Polri)

Oleh: Rustika Herlambang, Direktur Komunikasi, Indonesia Indicator

Pandemi Covid-19 menghadirkan tantangan baru bagi semua jajaran pemerintah. Bagi polisi, tantangan ini menjadi lebih kompleks. Sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, polisi seringkali harus berada di garda terdepan. Polisi diminta berperan saat berhadapan dengan pasien Covid-19 dan keluarga mereka yang kadang tidak mau bekerja sama.

Polisi juga mesti hadir menghadapi kerumunan, masyarakat yang marah karena Bantuan Sosial (Bansos) atau BLT yang belum kunjung turun. Masyarakat yang rindu mudik, aksi demo, dan masih banyak lagi. Jika polisi tidak hadir, niscaya masyarakat akan berteriak. Namun, pada saat yang bersamaan, sudahkah kehadirannya dipercaya?

Tingkat Kepercayaan Publik

Kita masih ingat bahwa belum lama ini jagat media sosial ramai oleh warganet yang mengamuk setelah seorang polisi di Maluku Utara menangkap warga yang mengunggah guyonan Gus Dur soal polisi jujur. Polisi yang menangkap dinilai overacting. Pimpinan polisi, untungnya, tanggap. Kadiv Humas Polri Irjen Raden Prabowo Argo Yuwono, mengatakan bahwa Polda Maluku Utara telah menegur anggota yang bertindak berlebihan tersebut. Teguran ini adalah salah satu bentuk polisi menjaga kepercayaan warga. 

Tingkat kepercayaan publik adalah salah satu parameter penilaian kinerja Polri. Seperti kita tahu, proses membangun kepercayaan bukanlah aksi sulap yang semua bisa beres dalam sekejap. Kepercayaan terhadap suatu organisasi, kelompok, maupun individu berawal dari bagaimana orang mempersepsikan hal tersebut. Persepsi bisa dihadirkan dari segala hal yang dibaca, dilihat, didengar, atau dirasakan—dan dalam era digital, persepsi ini didapatkan dari berbagai informasi yang muncul di media maupun di media sosial.

Ada fenomena menarik terkait perkembangan tingkat kepercayaan atau tingkat kepuasan pada Polri sepanjang 10 tahun terakhir.  Pada 17 Juni – 4 Juli 2011, The Indonesian Human Right Monitor, mengadakan survei dengan responden 500 warga Jakarta; hasilnya, 33% warga merasa puas (Febrianti dan Maulana, 2013).

Hasil Survei Litbang Kompas  selama 2014-2019 menunjukkan kenaikan tingkat kepuasan dari tahun ke tahun: 46,7% (2014), 51,2% (2015), 63,2% (2016) , 70,2% (2017), 82,9%  (Juni 2018). Sementara itu, pada akhir  2018, survei Mark Plus menunjukkan tingkat kepuasan pada Polri berada di angka 74,46 %. 

Pada 2019, tingkat kepercayaan publik pada Polri berada di 70,8% menurut versi Litbang Kompas. Angka ini sebuah prestasi di tengah gempita penyelenggaraan Pilpres yang cukup panas, aksi demo berjilid-jilid, perang tagar yang tiap hari berganti, tekanan opini “publik” melalui media dan media sosial, dan masih banyak lagi. 

Proses Membangun Kepercayaan 

Perubahan kesadaran mengenai pentingnya opini publik terjadi pada kepemimpinan Kapolri Tito Karnavian, yang kala itu menggelorakan semangat Promoter (Profesional, Modern, dan Tepercaya). Salah satu kebijakan yang muncul pada periode itu adalah Manajemen Media untuk mengelola persepsi publik melalui media dan media sosial. Kebijakan ini hadir sebagai sebuah kesadaran, baik di tingkat Mabes Polri maupun level paling bawah, bahwa setiap anggota harus sadar dirinya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pembentukan persepsi publik terhadap Polri secara keseluruhan. 

Tito menyadari pentingnya pembentukan persepsi. “Sebanyak 60% persepsi publik terbangun dari pemberitaan melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. Sementara sisanya didapatkan dari kinerja dan kultur di lingkungan Korps Bhayangkara,” kata Tito.

Media adalah sebuah platform informasi yang memiliki tingkat kredibilitas yang lebih tinggi karena ada proses redaksional. Oleh karena itu, Polri melakukan langkah-langkah, mulai yang praktis hingga filosofis agar media dapat selaras dengan kebijakan Polri atau setidaknya tidak menghambat langkah Polri. Manajemen media dilakukan dengan pendekatan ke media, strategi komunikasi yang lebih baik, dan melakukan monitoring isu yang berkembang. Dengan cara ini, Polri bisa melakukan antisipasi dan bergerak dengan cepat, semisal hadir dalam berbagai isu yang mengganggu situasi Kambtibmas.

Penulis : Zaki-Amrullah

Sumber : Kompas TV


TERBARU