Restart Premier League dan Berakhirnya Kutukan Liverpool
Opini | 16 Juni 2020, 12:51 WIBTetap Nyata di Layar Kaca
Bruno Fernandes bersiap-siap di lorong Stamford Bridge. Wajahnya fullframe di layar. Ekspresi wajahnya tergambar jelas, termasuk bulu jambangnya yang lebat itu.
Dengan tegap dia kemudian melangkah menyusuri lorong. Sesekali melakukan toss dengan anak bola atau personel The Blues.
Gemuruh suporter sayup-sayup terdengar. Sorak sorai pecah, Ketika skuad dua tim melewati tunnel dan menginjak rumput Stamford Bridge.
Semua itu terasa nyata, meski hanya disaksikan fans Setan Merah atau Chelsea di Kebayoran Lama, Jakarta yang berjarak 11.711 kilometer dari London lewat televisi.
Sensasi sama pastinya juga dirasakan 4,7 miliar penonton Liga Inggris lainnya di berbagai penjuru dunia.
Saat itu, 18 Februari 2020 Manchester United bertandang ke markas Chelsea di pekan ke-26 Premier League.
Sekali lagi semua nampak nyata, meski hanya di layar kaca.
Show di televisi Liga Inggris memang selalu luar biasa. Infonya, lebih dari 200 kru mengabadikan jalannya tiap pertandingan yang disiarkan live ke berbagai negara.
Ekspresi pemain. Teriakan manajer di pinggir lapangan. Chant-chant para suporter. Suara bola yang ditendang. Hingga jerit kesakitan pemain kena tackle lawan terasa riil di ruang keluarga.
Harus diakui, totalitas mengemas show membuat Premier League jadi liga yang paling menghibur. Paling enak dinikmati di televisi.
Visualnya tak hanya tajam, tapi indah di mata. Menurut beberapa orang, audio yang ditampilkan dalam siaran live Premier League bahkan lebih “nyata” dibanding atmosfer saat menonton langsung di stadion.
Menolak Sunyi di tengah Pandemi
Setelah sempat terhenti lebih dari dua bulan, Liga Inggris kembali restart. Mengikuti jejak Bundesliga dan La Liga, laga tersisa Premier League musim ini akan diselesaikan tanpa kehadiran penonton di pinggir lapangan.
Berbagai cara ditempuh agar pertandingan tidak kehilangan greget. Tak bisa ditolak, memutar roda kompetisi tanpa penonton harus dijalani demi mencegah kerugian lebih dalam bagi klub, pengiklan, broadcaster juga stakeholder liga Inggris.
Agar atmosfer show tetap hidup di layar kaca sejumlah inovasi ditawarkan para broadcaster pemegang hak siar Liga Inggris.
Mulai dari usulan wawancara pemain saat paruh waktu, menambah kamera di locker room, menambah mikrofon di beberapa sudut dan angle kamera, hingga akan memutar efek suara suara suporter di stadion yang diambil dari game FIFA 20.
Tujuannya satu, menjaga atmosfer pertandingan. Menolak laga yang sunyi sebab semua akan digelar tertutup atau tanpa sorak sorai penonton di tribun.
Hingga 11 Juni 2020, sejumlah usulan sudah dipastikan ditolak. Tapi ada juga yang diterima. Salah satunya kehadiran microfon tambahan yang akan menghadirkan suara koin saat di toss jelang kickoff.
Liverpool Kembali Juara?
Siapa yang rindu Liverpool juara? Menyaksikan The Reds meraih gelar pertama sepanjang era Premier League? Mengakhiri kutukan “next season” yang kerap jadi bully-an yang menyesakkan bagi para Liverpudlian.
Suka tidak suka, teka-teki kapan Liverpool berpesta karena meraih gelar ke-19 Liga Inggris jadi salah satu drama yang dinanti penggemar Premier League.
Dan sepertinya musim ini, kutukan “next season” bakal berakhir. Sebab skuad asuhan Jurgen Klopp hanya butuh dua kemenangan.
Sudah terlalu lama penantian mereka. Terakhir juara liga tahun 1990 atau 30 tahun!
Telah menjalani 29 laga dan mengoleksi 82 poin, Mohammed Salah dan teman-temannya unggul 25 poin dari peringkat kedua Manchester City.
Dengan fakta itu, hampir mustahil The Reds kesandung lagi. Diprediksi pesta Liverpudlian akan terwujud 22 Juni mendatang. Dalam derby Merseyside kontra Everton.
Atau jika sedikit tertunda, titel masih bisa disegel kala menjamu Crystal Palace 25 Juni 2020.
Pada akhirnya, penggila Liga Inggris akan kembali menyaksikan liga kesayangan mereka pada 17 Juni 2020. Lanjutan liga akan menghadirkan laga Aston Villa kontra Sheffield United.
Penulis : Alexander-Wibisono
Sumber : Kompas TV