Fokus di Dalam, Apa Kabar di Pintu Gerbang?
Opini | 16 Juni 2020, 12:11 WIBOleh: Aiman Witjaksono, Produser Eksekutif Kompas Tv
Awal pekan ini, sejurus lagi proses masa transisi dijalankan di Jakarta, dan juga normal baru di sejumlah daerah. Di Jakarta, per Senin, 15 Juni 2020 ini, sejumlah Mal mulai buka dengan protokol kesehatan yang konon akan ketat dijaga.
Aturan penumpang pesawat yang sebelumnya hanya diisi 50 persen alias setengah kapasitas, belakangan oleh Menteri Perhubungan dibolehkan diisi dengan 70 persen kapasitas. Bahkan pada pesawat tertentu, bisa 100 persen alias kapasitas penuh.
Di tengah tercetak rekor baru penambahan jumlah positif, apakah kebijakan ini tepat, apakah masyarakat aman, bagaimana dengan potensi penularan, bagaiama pula menjaganya bersama-sama?
Di Atas Seribu Orang
Beberapa hari ini kita melihat fakta terdapat penambahan jumlah positif lebih dari 1000 orang per hari, yang bulan-bulan sebelumnya tidak terjadi. Memang ada argumentasi bahwa, ini akibat tes masif yang dilakukan. Rata-rata pada bulan Juni ini mencapai 12.700 spesimen per hari melalui tes Swab/PCR. Tetapi fakta ini membuka mata, bahwa di luar sana, masih banyak yang menderita.
Meski demikian, kehidupan tetap harus dilanjutkan. Ada pola normal baru yang harus dijalankan, menjadi sebuah keniscayaan.
Hanya saja, dimana batasnya, apakah keran dibuka seperempat, sepertiga, setengah, atau duapertiga?
Percayalah, jawaban ini yang tidak ada formulasi khususnya, setidaknya dalam waktu dekat!
Meraba-raba Kebijakan
Salah seorang pejabat penting negara ini, berbicara kepada saya secara off-the-record, bahwa yang terjadi saat ini, adalah meraba-raba. Masing-masing kebijakan mengintip negara lain, apa yang terjadi, dan bagaimana efeknya. Tidak ada formulasi yang secara pasti bisa diterapkan. Bahkan berbasis penelitian dan ilmu pengetahuan sekalipun. Karena kasusnya yang belum bisa dipetakan, dan sifat virusnya yang masih bisa diteliti.
Alhasil formulasi yang bisa dilakukan adalah, menutup keran atau membuka sebagian, demi berlangsungnya kehidupan. Kajian-kajian yang dilakukan sifatnya jangka pendek yang mengiringi kebijakan lokal yang dibuat. Memang kondisi ini, tidak pernah dialami oleh generasi tetua kita sebelumnya.
“OTG” Covid, Bencana Abad ini
Sifat virus yang sangat spesifik, dan yang paling menantang adalah, virus ini memunculkan Orang Tanpa Gejala (OTG), yakni orang yang sudah terinfeksi Corona, tapi tidak mengetahui dan tidak terdeteksi, meski menularkan. Bencana abad ini dari virus Corona, datang dari OTG, yang bisa memunculkan kelompok alias klaster baru penularan. Berbeda jika OTG ini tidak ada, katakanlah virus yang menginfeksi, selalu memunculkan gejala. Atau semisal, virusnya tidak menular antar manusia. Maka akan jauh lebih mudah mendeteksi dan menanganinya.
Aiman, Melihat Terminal 3 Soetta, Banyak yang Berbeda
Dalam program AIMAN pekan ini, saya berkeliling ke salah satu pintu gerbang penularan, Bandara. Kita tahu awal penularan Covid-19 ini, melalui imported case, alias kasus yang berasal dari luar negeri. Bagaimana Bandara melakukan pertahanan di tengah potensi lalu-lalang OTG, yang bisa menyebarkan ke daerah lain di luar sana, termasuk perlakuan bagi mereka yang datang. Terlebih di tengah kapasitas pesawat yang tiba - tiba ditambah, menjadi 70 bahkan hingga full 100 persen dari kapasitas penuhnya untuk pesawat tertentu.
Penumpang Kebingunan di Bandara
Saya berkunjung ke Terminal 3, Bandara Soekarno-Hatta. Di sini, saya melihat hanya satu pintu yang dibuka, yakni keberangkatan. Untuk pintu kedatangan, selain jumlahnya sangat sedikit, arahnya pun dialihkan ke pintu keberangkatan. Yang menarik adalah, sejumlah surat yang harus disiapkan. Dan saya mendapati, banyak penumpang yang tidak mengetahui. Memang untuk terbang saat ini, tidak lagi diperlukan Surat Izin Keluar Masuk (SIKM), tetapi khusus untuk masuk Jakarta, SIKM tetap diminta dengan persyaratan ada tes Covid, minimal Tes Cepat (Rapid Test).
Mahalnya Tes Corona
Bahkan untuk beberapa daerah seperti Bali, Kalimantan Timur, Bangka-Belitung, harus memiliki surat negatif hasil tes Swab/PCR. Sebagai informasi untuk Rapid Test biayanya sekitar Rp 300 ribu, hasil akan keluar dalam 15 menit.
Sementara untuk Swab/PCR biayanya mulai dari Rp 2,5 juta, untuk hasil yang keluar 5-7 hari.
Untuk hasil Swab/PCR yang keluar dalam 24 jam, sejumlah Rumah Sakit mengenakan biaya hingga di atas 5 juta rupiah.
Selain surat hasil tes tersebut, para penumpang juga wajib mengisi HAC, yakni Health Alert Card, sebuah formulir yang bisa diunduh di situs Kementerian Kesehatan, yang berisi tentang riwayat kesehatan dan perjalanan penumpang sebelumnya. Semua penumpang yang saya tanya, tidak mengetahui harus mengisi HAC ini. Beruntung pihak pengelola bandara Soekarno Hatta, Angkasa Pura II, menyediakan loket khusus untuk pemeriksaan semua persyaratan ini, dan juga menyediakan formulir HAC yang tinggal diisi.
Bahkan Bandara Soetta juga menyiapkan satu ruangan darurat untuk melakukan tes cepat bagi penumpang yang belum memiliki surat keterangan hasil pemeriksaan cepat ini.
Saya melihat, memang tidak ada antrean yang berarti. Tetapi ini, karena jumlah penerbangannya masih sepi, belum banyak. Tentu akan terjadi hal yang berbeda bila pekan ini, aturan 70 persen kursi pesawat bisa diisi.
Jangan Hanya Fokus di Dalam, Abai di Pintu Gerbang
Kekhawatiran pasti ada. Penularan tetap punya potensi untuk terjadi. Tetapi hidup baru harus dijalankan adalah keniscayaan. Tak ada jalan, perubahan dan evaluasi cepat harus dilaksanakan. Data dari Kementerian Tenaga Kerja RI, Bulan Juli 2020 nanti, total ada 33 ribu lebih pekerja migran yang habis kontrak, dan akan dipulangkan dari berbagai negara di dunia ke kampung halaman mereka di tanah air.
Mereka harus tentu diterima, tapi harus dilakukan upaya, screening tepat dilakukan, agar tak menjadi kelompok penular baru.
Jangan sampai fokus di fokus menjaga di dalam, tapi lepas di pintu gerbang!
Penulis : Zaki-Amrullah
Sumber : Kompas TV