Politik Markonah
Politik | 27 Januari 2020, 12:05 WIBMisalnya, menurut Purwadi (2004), “Ratu Adil” dapat ditafsirkan sebagai seorang yang mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Ratu Adil juga dipahami sebagai pelindung atau pengayom dari seluruh masyarakat tanpa membedakan golongan dan tanpa keberpihakan, kecuali hanya berpihak pada kebenaran hakiki yang bersifat universal.
“Herucakra” adalah raja keadilan, penguasa agama dan nabi Tuhan; juga sering disebut Satrio Pinandito Sisihan Wahyu. Umumnya istilah ini digabung dengan istilah Ratu Adil, menjadi “Ratu Adil Herucakra”. Zaman Edan atau zaman gila merupakan suatu fenomena yang sedang dilanda krisis dan bencana.
Di masa lalu, menurut Sartono Kartodirdjo, ketika kondisi zaman sudah demikian buruk, bubrah, maka muncul pemberontakan-pemberontakan.
Semua gerakan, di mana muncul pemberontakan itu umumnya dinyatakan sebagai gerakan juru selamat (mesianisme), gerakan ratu adil (milenarisme), gerakan kepribumian (nativisme), dan gagasan-gagasan perang suci.
Beberapa kasus pemberontakan petani antara lain peristiwa Cikandi Udik (1845), kasus Bekasi (1868), kasus Amat Ngisa (1871), pemberontakan Cilegon (1888), kerusuhan Ciomas (1886), pemberontakan Gedangan (1904) dan pemberontakan Dermajaya (1907).
Contoh lain, menurut M. Tauchid (1953) adalah gerakan pemberontakan yang berkaitan dengan penggusuran tanah garapan maupun perkampungan rakyat oleh perkebunan Belanda (onderneming) di beberapa daerah di Jawa Barat mendapat perlawanan.
Sejumlah sengketa pecah menjadi konflik terbuka, misalnya Peristiwa Langen di daerah Banjar, Ciamis (1905), Peristiwa Cisarua dan Koja, Plered (1913-1914), dan Peristiwa Rawa Lakbok, Ciamis (1930).
Sartono Kartodirdjo menyebutkan, “Banyak gerakan sosial, termasuk kerusuhan, pemberontakan, sekterisme, dapat diklasifikasikan sebagai gerakan keagamaan, karena gejala-gejala tersebut pada umumnya cenderung untuk berhubungan dengan gerakan-gerakan yang diilhami oleh agama atau menggunakan cara-cara agama untuk mewujudkan tujuan-tujuan gaib mereka. Kebanyakan pergolakan tersebut cenderung mempunyai segi-segi yang bercorak keagamaan.”
Mitos Ratu Adil itu tidak hanya ada di negeri ini.
A Setyo Wibowo (2014) menjajarkan ide tentang Ratu Adil dari Jawa dan Ratu Filsuf dari The Republic-nya Platon. Keduanya, konteks pembicaraannya mirip.
Wacana Ratu Adil menguat dan dimunculkan ketika suasana sosial politik membingungkan, meresahkan, dan penuh hal-hal negatif. Begitu pula, wacana Platon tentang Ratu Filsuf tidak bisa dilepaskan dari keresahannya menyaksikan pembusukan rejim demokrasi di Athena, Yunani, pada abad ke-5 SM.
Platon menggambarkan situasi itu sebagai “demokrasi yang anarkis”: relativisme moral (anak kehilangan sopan santun, orangtua tidak tahu lagi bagaimana menggunakan otoritasnya) dan relativisme hukum (toleransi terlalu besar kepada para pelaku tindak kejahatan, Undang-Undang saling bertabrakan, tumpang tindih).
Masyarakat menjadi anarchi, anarkis. Artinya, tanpa prinsip yang mengomando tatanan. Situasi buruk ini mendorong Platon menulis buku Poleteia (The Republic).
Dua figur ini—Ratu Adil dan Ratu Filsuf–dianggap bisa menjadi solusi untuk mengakhiri zaman edan guna memasuki era yang lebih baik. Uniknya , dua figur pemimpin ini (Ratu Adil dan Ratu Filsuf) bukan pemimpin yang bisa ditelorkan begitu saja melalui serangkaian proses yang wajar. Intervensi dari Yang Ilahi dirujuk sebagai salah satu pihak yang bertanggung jawab untuk kemunculan mereka.
Apakah zaman sekarang ini memenuhi syarat-syarat munculnya “Ratu Adil” (atau mungkin “Ratu Adil” malahan sudah muncul) atau lahirnya “Zaman Edan” seperti yang dikemukakan oleh Sartono Kartodirdjo, Purwadi, dan juga Setyo Wibowo?
Mungkin, Zaman Edan; di mana banyak orang memegang prinsip mélu ngédan nora tahan,yén tan mélu anglakoni, boya keduman mélik– ikut gila tidak akan tahan,tapi kalau tidak mengikuti (gila), tidak akan mendapat bagian.
Banyak orang menjadi seperti kalimat bijak ini, avarus animus nullo satiatur lucro—pikiran rakus tidak puas dengan keuntungan berapa pun; entah itu keuntungan ekonomi maupun politik atau keuntungan yang lain.
Zaman memang sudah edan atau orang-orang di zaman ini yang edan. Barangkali demikian yang melatari lahirnya Keraton Agung Sejagat di Purworejo dengan Sinuhun Rangkai Mataram Agung sebagai raja dan Kanjeng Ratu Dyah Gitaraja sebagai permaisuri. Atau juga Sunda Empire yang mengklaim beranggotakan 54 negara, dan juga menyebut sistem pemerintahan di dunia akan dikontrol dari Bandung. Atau, konon, juga muncul di Klaten.
Atau mungkin semua itu sekadar mengulang yang dulu dilakukan oleh Raja Idrus dan istrinya Ratu Markonah yang membuat heboh pada 1950-an. Mereka mengaku sebagai penguasa dari Suku Kubu di pedalaman Jambi dan menemui Presiden Soekarno di Istana Merdeka. Mereka mengaku bisa membantu pemerintah membebaskan Irian Barat.
Malahan menurut cerita selain mendapatkan sambutan dan jamuan istimewa, sang raja dan ratu memperoleh uang untuk misi membantu pembebasan Irian Barat (Papua bagian barat). Soekarno pun memberikan mereka uang untuk menginap di hotel mewah dan makan gratis selama berminggu-minggu.
Itulah politik tipu-tipu gaya Markonah. Entah, apa sekarang ini berulang lagi? Mungkin zaman seperti ini pula yang dulu pernah terjadi zaman Romawi sehingga seorang orator, ahli hukum, politisi, dan filsuf zaman Romawi, Cicero (106-43 SM) mengeluh, “O tempora, o mores,” dan Ranggawarsita menyebutnya sebagai “Zaman Edan.”
Penulis : Alexander-Wibisono
Sumber : Kompas TV