> >

La C ne sur Un Sc ne sur La Seine

Opini | 11 Agustus 2024, 06:00 WIB
Celine Dion. (Sumber: AP Photo)

Oleh: Trias Kuncahyono

Lewat lagu Hymne à l’amour, yang dinyanyikan memuncaki pembukaan Olimpiade Paris, 26 Juli 2024, Celine Dion, membuat orang bergegas tidak hanya berebut memberikan pujian, berdecak kagum, bertepuk tangan, meneriakkan namanya, tetapi juga meneteskan air mata.

Hujan yang menguyur Paris malam itu pun, tak mampu menenggelamkan keelokan dan kekuatan syair lagu yang ditulis Edith Piaf dan Marguerite Monnot, yang memang sangat romantis dan mengirimkan pesan persaudaraan dan cinta yang demikian kuat.

Piaf menulis lirik balada ini pada tahun 1949 di rumah yang dibelinya bersama kekasihnya, juara tinju Prancis Marcel Cerdan. Bagi Cerdan-lah lagu itu ditulis, yang tewas dalam kecelakaan pesawat.

Diterangi kembang api, yang menghiasi langit Paris, diva Kanada kelahiran 1968 dengan penuh perasaan mengingatkan, lewat lagu L’Hymne à l’amour bahwa Amor omnia vincit, kasih sayang mengalahkan segalanya; Amor mundum fecit, cinta itu menciptakan dunia baru.

Coba baca dan kalau bisa nyanyikanlah syair yang mengawali himne cinta ini:

Le ciel bleu sur nous peut s’effondrer

Et la Terre peut bien s’écrouler

Peu m’importe si tu m’aimes

(Langit biru di atas kita mungkin akan runtuh

Dan Bumi mungkin akan amblas

Aku tidak peduli jika kamu mencintaiku..)

Celine Dion tampak emosional saat berhenti sejenak untuk bernapas sebelum baris terakhir dari lagu Piaf yang romantis itu dinyanyikan, …Dieu réunit ceux qui s’aiment… Tuhan mempertemukan kembali mereka yang saling mencintai…

***

Parade pembukaan Olimpiade Paris 2024 di Jembatan Iena, dekat Menara Eiffel, Paris, Jumat (26/7/2024). (Sumber: Ludovic Marin/Associated Press)

Olahraga adalah bahasa universal yang melampaui batas, bahasa, ras, kebangsaan dan agama. Olahraga mempunyai kapasitas untuk menyatukan masyarakat, mendorong dialog dan saling menerima; merangsang kelebihan diri, membentuk semangat pengorbanan, menumbuhkan kesetiaan dalam hubungan interpersonal. Olahraga mengundang orang untuk mengenali batasan mereka sendiri dan nilai orang lain.

Maka semestinya olimpiade menjadi kesempatan yang tidak boleh dilewatkan bagi semua orang yang datang dari seluruh dunia untuk menemukan dan menghargai satu sama lain, untuk meruntuhkan prasangka, untuk menumbuhkan harga diri di mana ada penghinaan dan ketidakpercayaan, dan persahabatan di mana ada kebencian.

Sebab, kata Paus, olimpiade pada dasarnya adalah tentang perdamaian, bukan perang. Dengan semangat inilah maka pada zaman dahulu, gencatan senjata dilembagakan dengan bijak selama olimpiade, dan zaman modern secara rutin berupaya untuk menghidupkan kembali tradisi bahagia ini.

Maka, dalam pesannya kepada Metropolitan Paris Uskup Agung Laurent Ullich, menjelang olimpiade, Paus Fransiskus mengingatkan, jika tetap menjadi “permainan”, olimpiade dapat menjadi tempat pertemuan luar biasa antarbangsa, bahkan yang paling bermusuhan sekalipun.

Karena itu, semestinya olahraga memobilisasi yang terbaik dalam diri manusia dan kemanusiaan. Kata Presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC), Thomas Bach, “Keyakinan (faith) dan olahraga, memiliki banyak nilai yang sama yang memandu manusia untuk hidup bersama dalam damai dengan sesama umat manusia.”

***

Tetapi, sayangnya pesta luar biasa dalam persaudaraan universal itu dinodai oleh parodi Perjamuan Akhir, pada upacara pembukaan, 26 Juli lalu. Sulit untuk melihat bagaimana Perjamuan Terakhir cocok dengan pertandingan olahraga yang apolitis dan internasional.

Parodi Perjamuan Terakhir dalam bentuk “drag-queen tableau” (tablo waria) oleh 18 pemain, telah menyinggung hati dan perasaan umat Katolik. Kristen. Bahkan, Imam Besar Al-Azhar Mesir, Sheik Ahmed al-Tayyeb pun mengecamnya. Elon Musk dalam postingannya di X, menulis “sangat tidak menghormati umat Kristen” lalu disambung “Kekristenan telah ompong.”

Para uskup Prancis, para kardinal dan uskup seluruh dunia serta para pemimpin dunia pun mengecam pertunjukan itu, antara lain Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan. Pemimpin Gereja-gereja Ortodoks pun, Patriak Konstantinopel Bartholomew, berkomentar. Dan, akhirnya, Takhta Suci pun delapan hari kemudian menyatakan “sedih” dengan adanya pertunjukan itu.

Parodi itu menampilkan para waria berpose di belakang meja panjang dengan Sungai Seine dan Menara Eiffel sebagai latar belakang. Ini menggambarkan para rasul. Seorang DJ perempuan dengan gaun berpotongan rendah, low-cut dress, yang mengenakan hiasan kepala ukuran besar berwarna perak, duduk di tengah.

Hiasan ini mengingatkan lingkaran cahaya (halo) di belakang kepala Yesus sebagaimana digambarkan dalam lukisan Perjamuan Akhir, yang menunjukkan status ilahi-Nya sebagai putra Allah. Tampilan ini rupanya mengejek lukisan terkenal, “Perjamuan Akhir” karya Leonardo da Vinci.

Ada yang mengatakan, tampilan itu adalah penggambaran Pesta Dionysus, sebagai penghormatan terhadap asal-usul Olimpiade yakni Yunani; dan bukannya Perjamuan Akhir. Tetapi, para artis yang terlibat tablo itu, dalam unggahan di media sosial dan komentar media di Prancis, menyatakan mereka memang bermaksud meniru Perjamuan Akhir.

Akhirnya, karena protes para pemimpin berbagai agama dan pemimpin dunia, wakil Komite Olimpiade Internasional (IOC) minta maaf. Katanya, “Jelas tidak pernah ada niat untuk menunjukkan rasa tidak hormat kepada kelompok agama mana pun.”

Hanya itu. Kata Vatikan, semestinya, “Dalam acara bergengsi di yang dihadiri oleh orang dari seluruh dunia berdasarkan nilai-nilai yang sama, tidak boleh ada sindiran yang mengejek keyakinan agama banyak orang.”

Kebebasan berekspresi memang dijamin di negeri revolusi itu. Tetapi, kebebasan berekspresi, tentu sampai pula pada batasnya, karena harus menghormati orang dan pihak lain. Kebebasan ekspresi juga semestinya tidak menabrak dan menghancurkan persatuan global. Maka kebebasan berekspresi dan kebebasan-kebebasan yang lain harus pula diimbangi dengan rasa hormat terhadap yang lain.

Maka banyak yang berpendapat bahwa umat Kristiani berhak menyuarakan kemarahannya atas ejekan saat pembukaan Olimpiade Paris, tetapi dengan kasih dan tanpa kekerasan. Bukankah seperti, Amor omnia vincit, kasih sayang mengalahkan segalanya; Amor mundum fecit, cinta itu menciptakan dunia baru.

***

Olimpiade pada dasarnya adalah pesta olahraga. Namun, olimpiade jauh dari sekadar olahraga. Olimpiade adalah tentang: kebersamaan, harapan, solidaritas, dan perdamaian.

Itulah sebabnya, para wakil dari lima agama besar yang terlibat dalam Olimpiade Paris, beberapa hari lalu, bertemu di alun-alun Katedral Notre Dame, Paris. Mereka–wakil umat Kristen Yahudi, Muslim, Buddha, dan Hindu–bertemu, sharing (berbagai) dan mendiskusikan nilai-nilai iman dan olahraga. Ini tradisi lama yang sudah dilakukan sejak 1924.

Sejarah olimpiade sangat berwarna. Tidak selalu membuat bahagia. Acara pembukaan kemarin pun, tidak sepenuhnya membahagiakan banyak pihak.

Namun, di dunia sekarang ini yang terkoyak-koyak oleh perang, kebencian (karena alasan perbedaan etnis, agam, budaya, pandangan politik, dan juga strata sosial), harus diakui bahwa Olimpiade adalah satu-satunya acara yang masih mampu mempersatukan dunia lewat kompertisi damai, fair, dan penuh persaudaraan.

Karena itu, dengan memilih menyanyikan L’Hymne à l’amour, Celine Dion tidak hanya secara khusus bicara tentang kekuatan cinta antara laki-laki dan perempuan. Ia ingin pula mengingatkan bahwa olimpiade adalah lambang cinta. Sama seperti Perjamuan Terakhir adalah lambang cinta.

Tentu tidak seperti La Cène Sur Un Scène Sur La Seine, Perjamuan Terakhir di Panggung Sungai Seine, yang justru mengolok-olok cinta….

***

 

 

 

Penulis : Redaksi Kompas TV Editor : Vyara-Lestari

Sumber :


TERBARU