> >

Influencer dan Demokrasi Langsung: Sebuah Kritik

Opini | 5 Agustus 2024, 14:52 WIB
Presiden Joko Widodo bertolak ke Ibu Kota Nusantara (IKN), Minggu (28/7/2024). Tampak sejumlah influencer diajak dalam kunjungan kerja Jokowi kali ini. (Sumber: ANTARA/Mentari Dwi Gayati)

Hal ini bukan sesuatu yang baru. Dengan nafas yang sama, ini sudah dilakukan di era pemerintahan Soekarno dan Soeharto. Pada era Soekarno, kekuasaan eksekutif sangat dominan, dan pemerintah sering menggunakan simbolisme dan orasi untuk mendapatkan dukungan publik. 

Soekarno dikenal dengan gaya kepemimpinan yang sangat karismatik dan penggunaan pidato-pidato besar untuk menginspirasi rakyat. Namun, cara ini terkadang juga menutupi kekurangan dalam pelaksanaan kebijakan dan manajemen ekonomi.

Pada era Soeharto, validasi sering didapatkan melalui pencitraan kekuatan dan kestabilan. Pemerintahan Soeharto cenderung menggunakan berbagai cara untuk memperlihatkan kemajuan dan keberhasilan, meskipun sering kali di balik layar terdapat berbagai masalah. 

Selama masa Orde Baru, pemerintah melakukan upaya besar-besaran dalam pembangunan infrastruktur dan ekonomi yang terlihat, namun sering mengabaikan hak asasi manusia dan kebebasan sipil.

Di kedua era tersebut, ada kesamaan dalam hal mencari validasi publik untuk kebijakan-kebijakan pemerintah. Namun, metode yang digunakan berbeda. Pada era Soekarno, validasi datang melalui retorika dan simbolisme, sementara di era Soeharto, lebih banyak melalui pembangunan fisik dan pencitraan kekuatan. 

Momen selfie Presiden Jokowi dan sejumlah artis saat menginap di IKN (Sumber: Youtube)

Dalam konteks Jokowi, penggunaan influencer bisa dianggap sebagai upaya untuk mendapatkan validasi yang lebih kontemporer dan langsung, namun apakah ini solusi yang efektif dan berkelanjutan?

Salah satu kritik terhadap keterlibatan influencer adalah bahwa ini mencerminkan kehausan akan validasi instan yang menggantikan substansi kebijakan. Dalam konteks pemerintahan, validasi dari influencer bisa menjadi pisau bermata dua. 

Di satu sisi, mereka memiliki kekuatan untuk menjangkau audiens yang luas dan mempengaruhi opini publik. Di sisi lain, validasi ini mungkin tidak mencerminkan realitas di lapangan dan bisa jadi tidak cukup untuk menyelesaikan masalah mendasar. 

Jokowi mungkin menghadapi tantangan dalam hal mendapatkan dukungan dan minat dari investor asing, serta dalam mengatasi berbagai tantangan pembangunan di IKN. 

Mengandalkan influencer untuk menciptakan citra positif bisa jadi hanya langkah sementara yang tidak menyelesaikan masalah-masalah substantif yang ada. Jika kebijakan tidak didukung oleh rencana yang solid dan implementasi yang efektif, validasi dari influencer tidak akan mampu mengubah hasil akhir.

Kehausan akan validasi ini juga mencerminkan kekurangan dalam strategi komunikasi pemerintah. Di era Soekarno dan Soeharto, meskipun ada upaya untuk memoles citra, mereka juga menghadapi kritik atas kurangnya transparansi dan akuntabilitas. 

Penggunaan influencer dalam konteks Jokowi menambah dimensi baru dalam pencitraan publik, tetapi tidak dapat mengesampingkan kebutuhan untuk kebijakan yang transparan dan bertanggung jawab.

Presiden Joko Widodo menjawab pertanyaan wartawan di sela-sela meninjau langsung kawasan Istana Kepresidenan, Senin (29/7/2024). Kepala Negara yang didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno turut mengajak awak media untuk meninjau sejumlah ruangan yang ada di kawasan Istana Kepresidenan, termasuk Kantor Presiden. (Sumber: BIRO PERS SEKRETARIAT PRESIDEN/MUCHLIS JR via Kompas.id)

Dalam demokrasi langsung, partisipasi publik dan transparansi adalah kunci. Mengandalkan influencer mungkin dapat meningkatkan visibilitas proyek-proyek pemerintah, tetapi tidak boleh menjadi pengganti untuk keterlibatan publik yang lebih luas dan mendalam. 

Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan dan proyek yang dijalankan benar-benar mencerminkan kebutuhan dan keinginan masyarakat, bukan hanya sekadar mencari validasi instan melalui popularitas di media sosial.

Citra digital yang dibangun melalui influencer harus didukung oleh kenyataan yang kuat dan kebijakan yang efektif. Jika tidak, pemerintah hanya akan menciptakan ilusi kesuksesan yang tidak berdasar. 

Baca Juga: Istana Pastikan Seluruh Menteri Bakal Hadir di IKN pada 12 Agustus 2024, Ada Apa?

Keterlibatan influencer dalam kebijakan pemerintahan harus dipertimbangkan dengan hati-hati. Apakah ini benar-benar berkontribusi pada pembangunan dan kemajuan, ataukah hanya kosmetik pada kebijakan yang mungkin membutuhkan lebih dari sekadar citra positif untuk mencapai hasil yang diinginkan?

Pada akhirnya, validasi instan dari influencer tidak boleh menggantikan substansi kebijakan yang kuat dan implementasi yang efektif. Pemerintah harus fokus pada transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik untuk mencapai hasil yang nyata dan berkelanjutan. 

Penulis : Redaksi Kompas TV Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Kompas TV


TERBARU